
Mengenal Demokrasi: Bersikap Kritis Terhadap Praktik Demokrasi (Episode 1)
Oleh: Bimo Saputra
Dewasa ini, demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik nomor dua (the second best system) karena juara pertama sebagai konsep sistem yang sempurna belum ditemukan atau belum menjadi kesadaran bersama walupun mungkin ada. Atau, dalam ungkapan Juan J. Linz, demokrasi liberal menjadi “the only game in town” (satu-satunya aturan yang berlaku). Memang faktanya, demokrasi telah mencatatkan kemenangan historis atas sistem pemerintahan di dunia. Dewasa ini, hampir semua rezim di seluruh dunia berlomba mengaku atau mengubah dirinya sebagai rezim demokrat. Bahkan, setiap orang di sekitar kita mengaku sebagai seorang demokrat walaupun faktanya berperilaku otoriter.
Demokrasi liberal memiliki alasan untuk melakukan klaim-klaim positif atas sukses ideologinya. Namun, kritik terhadap demokrasi liberal juga terus diarahkan terutama kritik yang datang dari pemikiran strukturalisme atau marxisme yang beranggapan antara lain struktur kapitalisme global yang tidak adil dan ekploitatif yang menciptakan tatanan ekonomi dan sosial yang mengundang konflik dan disharmoni; ketimpangan kesejahteraan yang sangat besar antara negara maju dengan negara berkembang.
Sistem demokrasi liberal tidak terlepas dari perdebatan-perdebatan panjang tanpa henti. Banyak negara, akademisi, dan individu yang mempertanyakan prinsip, nilai, ataupun model praktik demokrasi. Hubungan demokrasi dengan konsep lainnya juga menjadi perdebatan yang selalu ada. Pada level konsep, banyak ahli yang menganggap demokrasi liberal bersifat ambigu, terbuka pada banyak interpretasi. Begitu banyak definisi yang dilekatkan padanya dan begitu banyak variasi model dalam praktiknya, namun tetap ada hegemoni tafsir tunggal dari penganut fanatik demokrasi liberal yang menentukan sauatu negara dinyatakan demokratis atau tidak demokratis.
Kritik lain yang dialamatkan pada demokrasi liberal adalah tentang konsep demokrasi liberal yang menempatkan moralitas sebagai urusan individual berkala dan tidak boleh mencampuri urusan umum. Demokrasi liberal mengenyampingkan urusan etika dan spiritualitas. Sistem kepercayaan dan agama adalah urusan individual yang tidak boleh dibawa menjadi urusan negara. Karena itu, maka praktik demokrasi liberal “kering” akan nilai-nilai, norma, dan spritualitas.
Negara-negara berkembang yang menerapkan demokrasi liberal seolah bermimpi akan melahirkan kesejahteraan bersama (collective welfare) dan mencapai kemajuan sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Namun kenyataannya yang terjadi justru pemeliharaan kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, konflik, perpecahan, sosial-politik, dan bahkan membuka ruang semangat dan dorongan politik separatisme di berbagai negara seperti halnya terjadi di Indonesia. Selain itu, distribusi ekonomi melalui kompetisi bebas atau pasar bebas seperti yang dibayangkan kaum liberal memang tidak pernah terjadi, karena faktanya terjadi ketidakadilan basis material dan struktur, yang akhirnya mengakibatkan ada yang kalah dan yang menang. Karena itu, demokrasi liberal hanya menguntungkan pihak yang kuat belaka dan mengabaikan nasib pihak lemah. Bahkan yang miskin bisa makin miskin.
Dalam kasus demokrasi Indonesia, sejak memasuki era reformasi, sadar atau tidak sadar, kita tengah mempraktikkan demokrasi yang berkarakteristik liberal (konstitusional) walupun tidak dinyatakan secara resmi sebagai demokrasi liberal. Namun, dapat dibaca pada hiruk-pikuk wacana model demokrasi pada awal reformasi. Frasa reformasi total, demokrasi total, dan demokrasi tanpa embel-embel mengisi wacana publik di media massa. Demokrasi total maksudnya demokrasi model barat, demokrasi liberal.
Setelah dipraktikkan selama dua dekade, ternyata sebagian tiang “demokrasi total” itu belum tegak juga. Misalnya, demokrasi liberal mensyaratkan tegaknya kebebasan bersamaan dengan penegakan hukum yang adil dan pemerintahan yang bersih. Namun, justru menonjol praktik aspek kebebasannya tanpa dibarengi penegakan hukum yang adil dan pemerintahan yang bersih. Penegakan hukum pada semua bidang dan untuk semua lapisan makin mandul. Praktik korupsi oleh penyelenggara negara tak menunjukkan tanda-tanda berkurang. Implementasi konsep demokrasi liberal nampak mengalami distorsi dalam praktiknya. Dan, praktik kebebasan yang menonjol pun telah menabrak nilai-nilai ke-Indonesiaan seperti keadaban, sopan santun, dan kekeluargaan.
Demokrasi seolah hanya dimaknai sebagai kebebasan, setiap orang boleh merusak atau anarkisme atas nama demokrasi. Demokrasi yang dipraktikkan menunjukkan kebebasan yang sebebas-bebasnya, demokrasi yang bertentangan dengan nila-nilai humanis Pancasila dan prinsip negara hukum, aparat seolah tak berdaya menegakkan hukum, sehingga demokrasi gagal menciptakan kondisi yang teratur dalam masyarakat, sebaliknya yang terjadi kondisi ketidakteraturan (disorder). Mungkin hal ini terjadi karena sebelum reformasi, ruang berbicara, berkumpul dan berpendapat ditutup oleh rezim orde baru, sehingga pada masa reformasi asas demokrasi yang menjadi prioritas adalah asas kebebasan.
Pada awal reformasi, orang memberikan toleransi terhadap perilaku kebebasan berpendapat itu, karena dianggap suatu sikap euphoria reformasi yang bersifat sementara. Namun, setelah model demokrasi baru itu berjalan dua dasawarsa, orang mulai jengah dan khawatir terhadap perilaku kebebasan berlebihan yang ditampilkan oleh perilaku sebagian masyarakat pada segala bidang. Orang mulai bertanya-tanya terhadap penyebab perilaku itu. Dan, sistem demokrasi politik dan ekonomi baru menjadi salah satu yang dituding sebagai penyebabnya.
Jika model demokrasi yang diterapkan sekarang ini merupakan copy paste dari demokrasi liberal, maka model demokrasi yang dijalankan saati ini merupakan bentuk tafsir terhadap konsep demokrasi yang ditetapkan dalam konstitusi UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945. Dalam pasal 1 konstitusi ini dinyatakan secara tegas paham demokrasi yang dianut bangsa Indonesia adalah kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Paham demokrasi yang menjadi ideologi bangsa sebagaimana dinyatakan dalam Pancasila sila keempat, adalah “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Paham demokrasi politik ini ditujukan antara lain untuk mewujudkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sila kelima).
Pernyataan filosofis-ideologis tentang demokrasi itu, ditafsirkan pada level prosedur demokrasi menjadi empat model demokrasi selama perkembangan sejarahnya. Model demokrasi parlementer atau disebut juga demokrasi konstitusional (1945-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965), demokrasi Pancasila (1965-1998), dan demokrasi reformasi (1998-sekarang) [*Miriam budiardjo, Dasar-Dasar, h. 473-483]. Perkembangan model-model demokrasi ini merupakan produk pemikiran elit politik bangsa ini sesuai alur perkembangan sosio-politik nasional dan internasional. Bisa jadi, kedepan akan ditemukan lagi model koreksi atas praktik model demokrasi terakhir sesuai hasil evaluasi atas praktik demokrasi yang sedang berlangsung dibandingkan dengan perkembangan tafsir baru terhadap paham demokrasi dalam falsafah negara Pancasila.
Memang demokrasi liberal, dalam contoh negara Amerika Serikat, telah menunjukkan kemajuan tapi juga bisa dicatat aspek negatifnya. Mengambil hal positif dari demokrasi liberal merupakan sikap yang baik, tetapi bersikap kritis untuk mencegah aspek negatifnya merupakan hal yang bijaksana. Terlebih tidak selalu demokrasi liberal dapat mengantarkan bangsa yang menerapkannya mencapai kesejahteraan seperti yang dicapai Amerika.