Selamat datang di website resmi KPU Kabupaten Bekasi

Headline

#Trending

Informasi

Opini

Mengenal Demokrasi: Bersikap Kritis Terhadap Praktik Demokrasi (Episode 1)

Oleh: Bimo Saputra Dewasa ini, demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik nomor dua (the second best system) karena juara pertama sebagai konsep sistem yang sempurna belum ditemukan atau belum menjadi kesadaran bersama walupun mungkin ada. Atau, dalam ungkapan Juan J. Linz, demokrasi liberal menjadi “the only game in town” (satu-satunya aturan yang berlaku). Memang faktanya, demokrasi telah mencatatkan kemenangan historis atas sistem pemerintahan di dunia. Dewasa ini, hampir semua rezim di seluruh dunia berlomba mengaku atau mengubah dirinya sebagai rezim demokrat. Bahkan, setiap orang di sekitar kita mengaku sebagai seorang demokrat walaupun faktanya berperilaku otoriter. Demokrasi liberal memiliki alasan untuk melakukan klaim-klaim positif atas sukses ideologinya. Namun, kritik terhadap demokrasi liberal juga terus diarahkan terutama kritik yang datang dari pemikiran strukturalisme atau marxisme yang beranggapan antara lain struktur kapitalisme global yang tidak adil dan ekploitatif yang menciptakan tatanan ekonomi dan sosial yang mengundang konflik dan disharmoni; ketimpangan kesejahteraan yang sangat besar antara negara maju dengan negara berkembang. Sistem demokrasi liberal tidak terlepas dari perdebatan-perdebatan panjang tanpa henti. Banyak negara, akademisi, dan individu yang mempertanyakan prinsip, nilai, ataupun model praktik demokrasi. Hubungan demokrasi dengan konsep lainnya juga menjadi perdebatan yang selalu ada. Pada level konsep, banyak ahli yang menganggap demokrasi liberal bersifat ambigu, terbuka pada banyak interpretasi. Begitu banyak definisi yang dilekatkan padanya dan begitu banyak variasi model dalam praktiknya, namun tetap ada hegemoni tafsir tunggal dari penganut fanatik demokrasi liberal yang menentukan sauatu negara dinyatakan demokratis atau tidak demokratis. Kritik lain yang dialamatkan pada demokrasi liberal adalah tentang konsep demokrasi liberal yang menempatkan moralitas sebagai urusan individual berkala dan tidak boleh mencampuri urusan umum. Demokrasi liberal mengenyampingkan urusan etika dan spiritualitas. Sistem kepercayaan dan agama adalah urusan individual yang tidak boleh dibawa menjadi urusan negara. Karena itu, maka praktik demokrasi liberal “kering” akan nilai-nilai, norma, dan spritualitas. Negara-negara berkembang yang menerapkan demokrasi liberal seolah bermimpi akan melahirkan kesejahteraan bersama (collective welfare) dan mencapai kemajuan sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Namun kenyataannya yang terjadi justru pemeliharaan kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, konflik, perpecahan, sosial-politik, dan bahkan membuka ruang semangat dan dorongan politik separatisme di berbagai negara seperti halnya terjadi di Indonesia. Selain itu, distribusi ekonomi melalui kompetisi bebas atau pasar bebas seperti yang dibayangkan kaum liberal memang tidak pernah terjadi, karena faktanya terjadi ketidakadilan basis material dan struktur, yang akhirnya mengakibatkan ada yang kalah dan yang menang. Karena itu, demokrasi liberal hanya menguntungkan pihak yang kuat belaka dan mengabaikan nasib pihak lemah. Bahkan yang miskin bisa makin miskin. Dalam kasus demokrasi Indonesia, sejak memasuki era reformasi, sadar atau tidak sadar, kita tengah mempraktikkan demokrasi yang berkarakteristik liberal (konstitusional) walupun tidak dinyatakan secara resmi sebagai demokrasi liberal. Namun, dapat dibaca pada hiruk-pikuk wacana model demokrasi pada awal reformasi. Frasa reformasi total, demokrasi total, dan demokrasi tanpa embel-embel mengisi wacana publik di media massa. Demokrasi total maksudnya demokrasi model barat, demokrasi liberal. Setelah dipraktikkan selama dua dekade, ternyata sebagian tiang “demokrasi total” itu belum tegak juga. Misalnya, demokrasi liberal mensyaratkan tegaknya kebebasan bersamaan dengan penegakan hukum yang adil dan pemerintahan yang bersih. Namun, justru menonjol praktik aspek kebebasannya tanpa dibarengi penegakan hukum yang adil dan pemerintahan yang bersih. Penegakan hukum pada semua bidang dan untuk semua lapisan makin mandul. Praktik korupsi oleh penyelenggara negara tak menunjukkan tanda-tanda berkurang. Implementasi konsep demokrasi liberal nampak mengalami distorsi dalam praktiknya. Dan, praktik kebebasan yang menonjol  pun telah menabrak nilai-nilai ke-Indonesiaan seperti keadaban, sopan santun, dan kekeluargaan. Demokrasi seolah hanya dimaknai sebagai kebebasan, setiap orang boleh merusak atau anarkisme atas nama demokrasi. Demokrasi yang dipraktikkan menunjukkan kebebasan yang sebebas-bebasnya, demokrasi yang bertentangan dengan nila-nilai humanis Pancasila dan prinsip negara hukum, aparat seolah tak berdaya menegakkan hukum, sehingga demokrasi gagal menciptakan kondisi yang teratur dalam masyarakat, sebaliknya yang terjadi kondisi ketidakteraturan (disorder). Mungkin hal ini terjadi karena sebelum reformasi, ruang berbicara, berkumpul dan berpendapat ditutup oleh rezim orde baru, sehingga pada masa reformasi asas demokrasi yang menjadi prioritas adalah asas kebebasan. Pada awal reformasi, orang memberikan toleransi terhadap perilaku kebebasan berpendapat itu, karena dianggap suatu sikap euphoria reformasi yang bersifat sementara. Namun, setelah model demokrasi baru itu berjalan dua dasawarsa, orang mulai jengah dan khawatir terhadap perilaku kebebasan berlebihan yang ditampilkan oleh perilaku sebagian masyarakat pada segala bidang. Orang mulai bertanya-tanya terhadap penyebab perilaku itu. Dan, sistem demokrasi politik dan ekonomi baru menjadi salah satu yang dituding sebagai penyebabnya. Jika model demokrasi yang diterapkan sekarang ini merupakan copy paste dari demokrasi liberal, maka model demokrasi yang dijalankan saati ini merupakan bentuk tafsir terhadap konsep demokrasi yang ditetapkan dalam konstitusi UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945. Dalam pasal 1 konstitusi ini dinyatakan secara tegas paham demokrasi yang dianut bangsa Indonesia adalah kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Paham demokrasi yang menjadi ideologi bangsa sebagaimana dinyatakan dalam Pancasila sila keempat, adalah “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Paham demokrasi politik ini ditujukan antara lain untuk mewujudkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sila kelima). Pernyataan filosofis-ideologis tentang demokrasi itu, ditafsirkan pada level prosedur demokrasi menjadi empat model demokrasi selama perkembangan sejarahnya. Model demokrasi parlementer atau disebut juga demokrasi konstitusional (1945-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965), demokrasi Pancasila (1965-1998), dan demokrasi reformasi (1998-sekarang) [*Miriam budiardjo, Dasar-Dasar, h. 473-483]. Perkembangan model-model demokrasi ini merupakan produk pemikiran elit politik bangsa ini sesuai alur perkembangan sosio-politik nasional dan internasional. Bisa jadi, kedepan akan ditemukan lagi model koreksi atas praktik model demokrasi terakhir sesuai hasil evaluasi atas praktik demokrasi yang sedang berlangsung dibandingkan dengan perkembangan tafsir baru terhadap paham demokrasi dalam falsafah negara Pancasila. Memang demokrasi liberal, dalam contoh negara Amerika Serikat, telah menunjukkan kemajuan tapi juga bisa dicatat aspek negatifnya. Mengambil hal positif dari demokrasi liberal merupakan sikap yang baik, tetapi bersikap kritis untuk mencegah aspek negatifnya merupakan hal yang bijaksana. Terlebih tidak selalu demokrasi liberal dapat mengantarkan bangsa yang menerapkannya mencapai kesejahteraan seperti yang dicapai Amerika.

KPU DAN GEN Z

Oleh: Aldo Fauzan Rivai (Sekretariat KPU Kabupaten Bekasi) KPU dan Gen Z? Apa aku salah baca? Tentu tidak. Saat ini, KPU atau Komisi Pemilihan Umum dihadapkan dengan challenge sekaligus peluang dalam menyelenggarakan pemilihan umum di tahun-tahun mendatang. Gen Z, yang lahir pada rentang tahun lahir pada 1997 hingga 2012, akan menjadi salah satu penyumbang terbanyak dari DPT (Daftar Pemilih Tetap) selain kelompok milenial, pada event Pemilu di periode selanjutnya, yakni di tahun 2029 mendatang. Diperkirakan gen z dan milenial akan menjadi penyumbang  suara lebih dari 60% dari total pemilih. Dominasi ini membuat KPU harus beradaptasi dengan karakteristik ala sang digital native, gen z. Sosialisasi melalui media sosial, aplikasi mobile, dan platform digital lainnya bisa digunakan menjadi strategi utama dalam rangka mengedukasi dan merangkul generasi yang sedang bertumbuh tinggi ini secara jumlah perorangan. Namun, tantangannya adalah, masih banyak pemilih muda yang cenderung apatis terhadap partai politik, apalagi pasangan calon yang diusung dari partai-partai politik tersebut. Meski demikian, generasi muda ini atau gen z yang dikenal memiliki skeptisisme dan rasa penasaran yang tinggi, memiliki potensi besar sebagai agen perubahan politik. Dengan pendekatan yang tepat, seperti mendorong tiap pasangan calon dalam masa kampanye, mengusung kampanye berbasis nilai/value. Lalu, ditambah transparansi, tentu akan menambah partisipasi aktif di kalangan gen z. Jika melihat peluang tersebut, KPU diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi melalui keterlibatan mereka.  

Urgensi Penataan Daerah Pemilihan

Oleh: Dhany Wahab Habieby [Komisioner KPU Kabupaten Bekasi] Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penataan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi DPRD Kabupaten/Kota pada Pemilihan Umum Tahun 2024. Daerah Pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Dapil adalah kecamatan atau  gabungan kecamatan atau bagian kecamatan yang dibentuk sebagai kesatuan wilayah/daerah berdasarkan jumlah Penduduk untuk menentukan alokasi kursi sebagai dasar pengajuan calon oleh pimpinan partai politik dan penetapan calon terpilih anggota DPRD Kabupaten/Kota. Daerah Pemilihan merupakan arena kontestasi yang menentukan bagi para kandidat dalam pemilu sistem proporsional daftar terbuka. Perubahan daerah pemilihan akan berdampak kepada peserta pemilu dalam memetakan dukungan dan proyeksi perolehan suara yang akan dikonversi dalam penghitungan perolehan kursi di parlemen. Setiap kandidat akan berupaya keras meraih dukungan di dapil masing-masing agar suara yang diraih mampu menembus jumlah minimal perolehan kursi. Daerah pemilihan (district magnitude) bukan hanya menyangkut berapa banyak pemilih tinggal di suatu daerah pemilihan, melainkan berapa banyak wakil yang dicalonkan untuk dipilih di suatu daerah pemilihan. Dengan demikian, district magnitude mengacu pada jumlah wakil yang akan dipilih dari suatu daerah pemilihan (number of representatives elected from the district). Sejumlah faktor yang melatarbelakangi penataan daerah pemilihan; (1) adanya perubahan jumlah penduduk yang menagkibatkan alokasi kursi dalam satu daerah pemilihan melebihi batas maksimal dan/atau kurang dari batas minimal yang ditentukan oleh undang-undang; (2) adanya pemekaran wilayah atau bencana alam yang mengakibatkan hilangnya suatu daerah; (3) adanya dapil pada pemilu sebelumnya bertentangan dengan prinsip-prinsip penataan dapil. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum telah mengatur penyusunan dan penataan daerah pemilihan. Pasal 185 berbunyi; Penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota memperhatikan prinsip: (1) Kesataraan nilai suara, yakni mengupayakan harga kursi yang setara antar satu dapil dengan dapil lainnya; (2) Ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional sebagai prinsip yang mengutamakan jumlah kursi besar/maksimal dalam pembentukan dapil; (3) Proporsionalitas dengan mempertimbangkan keseimbangan alokasi kursi antar dapil; (4) Integralitas wilayah dengan memperhatikan dan keterpaduan wilayah, kondisi geografis dan sarana penghubung; (5) Coterminus yang dimaknai dapil yang dibentuk berada dalam cakupan wilayah yang sama atau dapil yang lebih besar; (6) Kohesivitas yakni memperhatikan aspek sejarah, kondisi sosial budaya, adat istiadat dan kelompok minoritas; (7) Kesinambungan yaitu prinsip penataan dapil yang memperhatikan komposisi dapil pada pemilu sebelumnya. Proses penataan daerah pemilihan di KPU Kabupaten/Kota harus melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung melalui mekanisme uji publik terhadap rancangan daerah pemilihan yang disusun oleh KPU Kabupaten/Kota. Berbagai unsur yang diundang dalam mekanisme uji publik antara lain: pemerintah daerah, partai politik di tingkat Kabupaten/Kota, Bawaslu, dan pemangku kepentingan lainnya. Daerah pemilihan adalah teritorial yang harus dipahami oleh para kandidat, baik dari sisi geografis maupun corak ragam masyarakat yang ada didalamnya. Kedekatan emosional calon anggota legislatif dengan masyarakat di daerah pemilihan menjadi bekal untuk meraih dukungan secara nyata. Kemampuan menyampaikan gagasan dan program yang sesuai kebutuhan masyarakat di dapil akan meningkatkan likebilitas seorang kandidat. Tujuan pembagian daerah pemilihan dalam sebuah pemilu adalah untuk mengukur derajat legitimasi anggota legislatif. Secara kuantitatif  sejumlah suara pemilih yang diperoleh setiap calon anggota legislatif dapat diukur.  Selain itu, untuk membatasi lingkup wilayah pertanggungjawaban anggota legislatif  terhadap konstituennya sehingga konstituen tahu siapa wakilnya, begitu juga sebaliknya. Pentaaan daerah pemilihan seharusnya lebih mengedepankan kepentingan masyarakat, bukan untuk mempertahankan kantong-kantong suara dari partai politik atau kandidat tertentu. Para pemilih merasa lebih dekat dengan orang yang dipilihnya untuk menyampaikan segala persoalan kehidupan bersama di lingkungan daerah pemilihan itu. Wujud nyata pemilu adalah pemberian mandat kepercayaan dari pemilih kepada kandidat untuk memperjuangkan aspirasi konstituen dari daerah pemilihan. Maka, sudah selayaknya seorang anggota legislatif mempunyai ikatan lahir batin dengan masyarakat di daerah pemilihan dan tidak menjadikan daerah pemilihan sekadar untuk mengeruk suara. Rancangan Dapil Anggota DPRD Kabupaten Bekasi Sebanyak 42 Kabupaten/Kota memperoleh tambahan alokasi kursi DPRD pada Pemilu 2024. Kabupaten Bekasi mendapat tambahan kursi DPRD seiring bertambahnya jumlah penduduk di kedua daerah tersebut. Keputusan KPU Nomor 457 Tahun 2022 tentang Jumlah Kursi Anggota DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Umum 2024 menyebutkan alokasi kursi DPRD Kabupaten Bekasi bertambah menjadi 55 kursi karena jumlah penduduk Kabupaten Bekasi saat ini tercatat 3.079.730 jiwa. Pada tanggal 23 November 2022, KPU Kabupaten Bekasi telah mengumumkan rancangan daerah pemilihan anggota DPRD Kabupaten Bekasi. Dalam pengumuman bernomor: 222/PL.01.1-SD/3216/2022, KPU Kabupaten Bekasi menyajikan tiga rancangan dapil, yaitu satu rancangan dapil sama seperti pada Pemilu 2019 dan dua rancangan dapil baru. Masyarakat diberi kesempatan untuk menyampaikan tanggapan dan masukan terhadap rancangan dapil tersebut. Respon publik terhadap rancangan dapil akan menjadi bahan pertimbangan bagi KPU dalam menetapkan daerah pemilihan yang akan diterapkan pada Pemilu 2024. KPU Kabupaten Bekasi selanjutnya akan melakukan uji publik dan berkonsultasi kepada KPU terkait rancangan penataan dapil dan alokasi kursi hasil uji publik. Tahapan akhir nantinya KPU akan menetapkan seluruh dapil dan alokasi kursi dalam rapat pleno dengan memperhatikan hasil konsultasi dengan DPR dan selanjutnya menuangkan ke dalam berita acara dan Keputusan KPU. Kita berharap penataan daerah pemilihan di Kabupaten Bekasi bermanfaat bagi masyarakat dan mampu meningkatkan pemerataan pembangunan. Daerah pemilihan merupakan ruang yang efektif untuk memastikan relasi partai politik, calon anggota legislatif dengan para konstituen masing-masing. Kontestasi menjadi lebih bermakna jika daerah pemilihan dimaknai sebagai ajang perlombaan meraih simpati melalui kerja politik dan program nyata demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. []    

Transformasi Digital Pemilu Serentak 2024

Oleh: Dhany Wahab Habieby (Kadiv Sosdiklihparmas dan SDM KPU Kabupaten Bekasi) Pemungutan suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak baru akan digelar pada 14 Februari 2024, namun Komisi Pemilihan Umum telah memulai tahapan pemilu sejak 14 Juni 2022. Hal ini sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menegaskan tahapan pemilu dimulai 20 bulan sebelum hari pencoblosan. Pemilu terbesar di dunia yang diselenggarakan dalam satu hari adalah pemilu Indonesia. Pemilu di Indonesia terdiri atas lima jenis pemilu: pemilu anggota DPR, pemilu perseorangan anggota DPD, pemilu presiden dan wakil presiden, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota yang diselenggarakan dalam satu hari. Itulah yang disebut pemilu serentak nasional lima kotak suara yang diselenggarakan dalam satu hari. KPU dituntut bekerja maraton begitu tahapan pemilu dimulai, melakukan perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu, pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu, penetapan peserta pemilu, penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan. Tahapan berikutnya pencalonan anggota DPD, pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, masa kampanye pemilu, masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi hasil penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, pengucapan sumpah/janji DPR dan DPD dan pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu merupakan kerja kolosal yang melibatkan seluruh komponen bangsa yang sarat konflik dan kepentingan. Mengutip pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang menyebut KPU sebagai manajer konflik dituntut bekerja profesional, jujur dan adil dalam mengelola pemilu sebagai arena konflik yang dianggap sah dan legal untuk meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Data Pemilu 2019 membuktikan bahwa KPU memiliki tanggungjawab yang besar untuk memastikan tahapan pemilu berlangsung lancar dan sukses. KPU mengelola pemilih terdaftar di DPT 192,8 juta. Mengorganisir panitia adhoc terdiri dari 7,3 juta lebih anggota KPPS dan petugas keamanan untuk 813.000 TPS, sebanyak 36.260 anggota PPK (7.252 kecamatan), dan 251.460 anggota PPS (83.820 desa/kelurahan). Ketersediaan logistik menjadi pekerjaan yang tak ringan, untuk memilih anggota DPR di 80 dapil perlu 80 macam surat suara. Untuk memilih anggota DPD di 34 dapil perlu 34 macam surat suara. Untuk memilih anggota DPRD di 34 provinsi di 272 dapil perlu 272 macam surat suara dan untuk anggota DPRD kabupaten/kota di 514 kabupaten/kota di 2.205 dapil perlu 2.205 macam surat suara berbeda. (sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021) Belajar dari Pemilu tahun 2019, maka penyelenggaraan Pemilu tahun 2024 mempunyai tingkat kerumitan dan kompleksitas yang sangat tinggi. Untuk itu diperlukan terobosan yang mampu menjadikan pemilu lebih efektif dan efisien. Langkah KPU mengembangkan berbagai aplikasi digital dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 patut mendapat apresiasi. Upaya KPU merintis jalan digitalisasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi merupakan bentuk transformasi Pemilu yang lebih modern dan akuntable bagi masa depan demokrasi Indonesia. Pertama, KPU menggunakan sistem informasi partai politik (SIPOL) sebagai alat bantu dalam tahapan pendaftaran, verifikasi dan penetapan partai politik peserta Pemilu 2024. SIPOL memudahkan partai politik sebagai calon peserta pemilu saat melakukan pendaftaran karena seluruh berkas dokumen persyaratan tersimpan dalam file digital. Sistem ini disediakan KPU guna membantu partai politik dan penyelenggara pemilu dalam tahapan pendaftaran pemilu, penelitian administrasi, dan verifikasi faktual partai politik.  Akses secara resmi dibuka hingga berakhir masa pendaftaran melalui situs sipol.kpu.go.id. Kedua, Kemajuan teknologi informasi dimanfaatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk terus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, salah satunya dibidang pendataan pemilih. Melalui aplikasi Sistem Informasi Data Pemilih (SIDALIH) pengelolaan data pemilih diharapkan menjadi semakin akurat. Selain itu dengan sistem yang terkoneksi memudahkan masyarakat dalam mengakses dan mengawasi kerja penyelenggara. SIDALIH dapat mendeteksi data ganda sekaligus perekan data pemilih secara berkelanjutan sehingga dapat mengahisikan data pemilih yang akurat dan komprehensif. Seperti diketahui data pemilih merupakan faktor yang menentukan dalam mewujudkan pemilu yang lebih berkualitas dan berintegritas. Ketiga, Untuk pertama kalinya, KPU akan menerapkan aplikasi SIAKBA (sistem informasi anggota KPU dan badan adhoc) dalam proses pembentukan badan adhoc penyelenggara pemilu tahun 2024 seperti  PPK dan PPS. Penggunaan SIAKBA ditegaskan dalam Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022 pasal 84 bahwa KPU menggunakan sarana teknologi informasi untuk pendaftran dan pendataan daklam pembentukan Badan Adhoc. Untuk mendaftar sebagai anggota PPK dan PPS diawali dengan memiliki akun SIAKBA yang nantinya akan diakses melalui halaman web atau klik  https://siakba.kpu.go.id/.  Keempat, KPU mengembangkan SILON (sistem informasi pencalonan) sebagai sarana pendukung dalam pengelolaan tahapan pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah. SILON sebagai perwujudan prinsip keterbukaan kepada masyarakat yang ingin mengetahui secara lengkap figur kandidat yang berkontestasi dalam pemilu maupun pilkada. Masyarakat dapat mengakses asal usul calon anggota DPR, DPD, dan DPRD sehingga mendapat informasi yang jelas latar belakang calon yang akan dipilihnya. Kelima, Tahapan krusial dalam pelaksanaan pemilu adalah pemungutan dan penghitungan suara (tungsura). Untuk memastikan tahapan tungsura berlangsung secara cepat dan tepat maka KPU berencana menggunakan SIREKAP (sistem informasi rekapitulasi. Aplikasi ini ditujukan untuk mendukung tahapan rekapitulasi hasil pemungutan suara. Penggunaan SIREKAP sangat penting bagi KPU untuk mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Proses tata cara yang berkaitan dengan tahapan pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi bisa berjalan secara cepat dan transparan serta meminimalisir penyimpangan dan manipulasi suara. SIREKAP sebagai alat bantu penghitungan suara yang bersumber langsung dari hasil perolehan suara di TPS dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat. Selain kelima aplikasi tersebut, KPU juga mengembangkan SIDAPIL (sistem informasi daerah pemilihan) untuk membantu pengelolaan dan penyusunan daerah pemilihan (dapil) DPRD Kabupaten/Kota serta jumlah alokasi kursi berdasarkan prinsip penataan dapil menggunakan peta digital. Untuk mengelola logistik pemilu secara efisien, tepat jumlah dan jenis sesuai kebutuhan, maka KPU menggunakan sistem informasi logistik (SILOG). Sistem ini akan membantu KPU dan badan adhoc dalam manajemen pengelolaan logistik kebutuhan pemilu. Sarana pendukung aplikasi teknologi informasi yang dikembangkan oleh KPU dalam mendukung tahapan kampanye adalah SIDAKAM (sistem informasi dana kampanye). Aplikasi ini untuk mendukung pengelolaan dana kampanye dan jadwal kampanye parpol peserta pemilu maupun pasangan calon presiden dan wakil presiden. Inovasi dan pengembangan beragam sistem informasi kepemiluan yang dilakukan oleh KPU diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu. Pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemilu merupakan sebuah keniscayaan. Upaya KPU ini memerlukan dukungan regulasi guna mendorong transformasi pemilu yang berkualitas dan berintegritas menuju demokrasi substansial. [*]  

Refleksi Hari Demokrasi Internasional

oleh: Dhany Wahab Habieby [Komisioner KPU Kabupaten Bekasi] Hari Demokrasi Internasional diperingati setiap tanggal 15 September. Hal ini mengacu pada Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2007 yang mencanangkan prinsip-prinsip demokrasi untuk menentukan sistem politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan, serta partisipasi penuh dalam segala aspek kehidupan Demokrasi menjadi pilihan negara-negara modern sebagai sistem pengelolaan pemerintahan untuk mengatur masyarakat. Indonesia telah menganut sistem negara demokrasi dengan bermacam variannya sejak awal kemerdekaan. Pasang surut kehidupan demokrasi ditanah air tidak terlepas dari sosok Presiden yang memimpin pada zamannya. Dari kelahiran demokrasi di Yunani kuno ribuan tahun yang lalu hingga hari ini, fondasi masyarakat demokratis adalah kemampuan rakyatnya untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan negara. Hal Ini hanya dapat terjadi ketika setiap orang diizinkan untuk memilih tanpa memandang ras, jenis kelamin, atau faktor lain yang berarti inklusi dan kesetaraan juga penting bagi keberhasilan masyarakat demokratis. (sumber: https://tirto.id/gjul) Secara ringkas ditegaskan bahwa sistem demokrasi memberi ruang yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik. Segala keputusan yang akan diambil berdasarkan aspirasi dan kepentingan seluruh warga negara, bukan atas dasar kepentingan suatu kelompok. Hal ini dilakukan untuk mencegah tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme di dalam masyarakat.  Dalam sistem demokrasi, terdapat lembaga perwakilan rakyat yang berfungsi untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Di Indonesia, lembaga ini dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih melalui pemilihan umum. Tugas pokok lembaga legislatif adalah membuat undang-undang (legislasi), penganggaran (budgeting) dan pengawasan (controling). Ciri demokrasi berikutnya adalah sistem kepartaian. Partai politik merupakan sarana dalam pelaksanaan sistem demokrasi. Melalui partai politik, kita dapat menyampaikan aspirasi kepada pemerintah yang sah. Partai politik memiliki fungsi untuk pengawasan kinerja dan mewakili rakyat untuk mengusung calon pemimpin dan pejabat publik, baik di pusat maupun daerah. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan demokrasi diantaranya menggunakan hak pilih pada Pemilu Serentak 14 Februari 2024. Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pada 1 Agustus 2022, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memulai tahapan Pendaftaran, Verifikasi dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota DPR/DPRD. Sebanyak 24 partai politik calon peserta pemilu mengikuti proses verifikasi administrasi dokumen persyaratan keanggotaan partai politik calon peserta pemilu. Sesuai data Kemenkumham mulanya terdapat 75 partai politik yang terdaftar dan memiliki badan hukum. Namun, seiring proses yang berlangsung tinggal 24 partai politik yang dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU untuk mendaftar sebagai calon peserta pemilu. Ke-24 parpol tersebut terdiri dari  9 parpol yang lolos parliamentary threshold (PT) dan saat ini mempunyai anggota di DPR: PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, Nasdem, Demokrat, PKB, PKS, PAN dan PPP. Berikutnya 6 parpol peserta Pemilu 2019 yang tidak lolos PT yaitu: Perindo, Hanura, PSI, PKP, PBB dan Garuda. Selanjutnya 9 parpol baru yang sedang berupaya menjadi peserta Pemilu 2024 yaitu: Partai Buruh, Partai Ummat, Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Partai Republik, Partai Republik Satu (PRS) dan Partai Republiku Indonesia (PRI). Sejarah mencatat pada pemilu pertama diselenggarakan tahun 1955 dan pemilu kedua tahun 1971 memang selalu diikuti oleh banyak partai politik. Rezim orde baru pada Pemilu 1977 melakukan penyederhanaan atau fusi partai peserta pemilu yang semula sepuluh partai politik menjadi hanya tiga partai. Ketiga partai itu ialah (1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan gabungan NU, Parmusi, Perti dan PSII. (2) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) adalah gabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI dan Partai Murba dan (3) Golongan Karya (Golkar). Ketiganya terus dipertahankan dan Golkar selalu menjadi pemenang mayoritas tunggal secara terus pada pemilu 1982,1987, 1992 dan 1997. Pasca rezim Orde Baru runtuh, pemilu diadakan pada 7 Juni 1999 untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pemilu pertama di zaman reformasi diikuti sebanyak 48 partai politik. Pada 17 April 2019 untuk pertama kalinya Pemilu Serentak untuk memilih secara langsung Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD dam anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota pada waktu yang bersamaan. Kini setelah 24 tahun era reformasi, konsolidasi demokrasi di tanah air dianggap semakin matang meski pemilu dinilai masih sebatas demokrasi prosedural. Perhelatan pemilu serentak 2024 diharapkan semakin menguatkan demokrasi elektoral di tanah air. Publik menghendaki Pemilu yang diselenggarakan secara konsisten lima tahun sekali semestinya membuka jalan untuk mewujudkan negara kesejahteraan (Welfare State). Penggagas teori Negara Kesejahteraan (Welfare State), Prof. Mr. R. Kranenburg, mengungkapkan “Negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang, bukan menyejahterakan golongan tertentu tapi seluruh rakyat.” Presiden yang terpilih melalui pemilu mempunyai kewajiban untuk menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, minimal dalam beberapa hal yaitu; terjaminnya kebutuhan material dan non material sehingga masyarakat dapat hidup aman dan bahagia, tersedianya pelayanan sosial seperti kesehatan, pendidikan dan perumahan yang memadai dan tersedianya tunjangan sosial bagi masyarakat yang tidak mampu dan termarjinalkan. Dalam konstitusi UUD 1945, hakikat kesejahteraan sosial tercermin dari perekonomian berdasarkan atas asas kekeluargaan, membiayai pendidikan dasar, mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu serta menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Pemerintah Indonesia secara jelas diamanatkan untuk menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan orang per orang. Kedaulatan rakyat yang ditunaikan melalui pemilu yang demokratis merupakan mandat kepada Pemerintah Indonesia untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Partai politik mempunyai tanggungjawab untuk mengawasi kader-kadernya yang duduk di lembaga eksekutif dan legislatif agar tidak menyimpang dari amanah yang diberikan oleh rakyat. Sekarang ini muncul kecemasan ketika demokrasi dunia sedang mengalami kemunduran (backsliding). Menurut studi terakhir Haghar dan Kufman (2021) penyebabnya adalah tindakan-tindakan politik oleh pejabat yang justeru dihasilkan dari proses demokrasi. Hal tersebut bisa juga terjadi di Indonesia, jika partisipasi publik dalam pemilu dan mandat yang diamanatkan kepada partai politik tak kunjung mendatangkan kesejahteraan.**    

Publikasi