Selamat datang di website resmi KPU Kabupaten Bekasi

Headline

#Trending

Informasi

Opini

Meneguhkan Demokrasi Elektoral Lokal : Dari Pilkades Ke Penguatan Demokrasi Nasional

Oleh: Hasan Badriawan (Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU Kabupaten Bekasi) Demokrasi dari Akar Rumput - Demokrasi Indonesia sejatinya tidak hanya hidup di ruang politik nasional atau parlemen, tetapi tumbuh dan berakar di tingkat paling bawah di desa. Demokrasi di Indonesia bukan hanya persoalan politik tingkat nasional, tetapi juga tumbuh dari dinamika masyarakat di tingkat lokal. Pemilihan kepala desa (Pilkades) menjadi salah satu bentuk paling nyata dari praktik demokrasi elektoral lokal yang melibatkan partisipasi langsung masyarakat. Melalui Pilkades, rakyat belajar menggunakan hak politiknya secara langsung dan menentukan pemimpin yang dianggap mampu membawa perubahan di tingkat desa. Namun, kualitas demokrasi tidak hanya diukur dari terselenggaranya pemilihan, melainkan dari seberapa bermakna partisipasi rakyat dan seberapa baik prosesnya berlangsung. Seperti demokrasi melalui Pilkades, masyarakat belajar secara langsung tentang arti partisipasi, tanggung jawab politik, dan pentingnya kepemimpinan yang berbasis pada kepercayaan publik. Proses ini sesungguhnya merupakan laboratorium demokrasi rakyat, tempat di mana nilai-nilai demokrasi diuji dalam konteks sosial yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun, di balik makna ideal itu, praktik demokrasi lokal kita belum sepenuhnya lepas dari berbagai problem klasik “politik uang”, konflik sosial, hingga netralitas aparat. Demokrasi lokal masih sering dimaknai sebatas kompetisi merebut jabatan, bukan kompetisi gagasan untuk kemajuan bersama. Demokrasi Elektoral Lokal dan Pilkades sebagai Fondasi Demokrasi - Demokrasi elektoral lokal adalah bentuk penerapan kedaulatan rakyat di tingkat daerah. Pilkades menjadi manifestasi paling konkret dari prinsip tersebut, di mana masyarakat desa menentukan pemimpinnya secara langsung melalui mekanisme pemilihan yang bebas dan adil. Pilkades bukan sekadar rutinitas politik lima tahunan, tetapi merupakan wadah pembelajaran politik yang membentuk kesadaran warga akan pentingnya suara mereka dalam menentukan arah pembangunan. Melalui Pilkades, masyarakat berlatih menilai visi dan misi calon pemimpin, mengenali karakter mereka, dan memahami konsekuensi dari pilihan politik yang diambil. Dengan demikian, Pilkades berperan sebagai ‘sekolah politik rakyat’ yang menanamkan nilai partisipasi dan tanggung jawab demokratis. Politik Desa sebagai Cermin Demokrasi Nasional - Kualitas demokrasi nasional akan sulit maju bila demokrasi di tingkat lokal masih rapuh. Pilkades seharusnya menjadi dasar pendidikan politik bagi warga agar memahami makna sejati kedaulatan rakyat. Dari sinilah akan lahir generasi pemilih yang rasional, kritis, dan tidak mudah diperdaya oleh politik transaksional. Sayangnya, demokrasi sering kali berhenti di bilik suara. Setelah pemilihan, warga cenderung kembali apatis karena merasa tidak memiliki peran dalam proses pemerintahan desa. Padahal, demokrasi tidak berakhir saat suara dihitung, tetapi justru dimulai saat rakyat mengawal jalannya kekuasaan. Dengan pelaksanaan Pilkades yang sehat akan melahirkan pemimpin lokal yang berintegritas dan memiliki legitimasi kuat. Sebaliknya, Pilkades yang diwarnai kecurangan hanya akan menciptakan ketidakpercayaan publik dan merusak semangat partisipasi politik masyarakat. Membangun Demokrasi Elektoral yang Bermakna - Demokrasi elektoral lokal tidak boleh berhenti sebagai ritual lima tahunan. Ia harus menjadi proses berkelanjutan untuk membangun kesadaran politik warga dan memperkuat tata kelola pemerintahan yang transparan. Beberapa langkah penting yang perlu diperhatikan untuk memperkuat demokrasi elektoral lokal, perlu dilakukan langkah strategis yang bersifat menyeluruh. Pertama, meningkatkan pendidikan politik masyarakat agar warga memahami pentingnya partisipasi rasional. Kedua, memperkuat regulasi dan pengawasan agar setiap tahapan pemilihan berjalan transparan dan bebas dari praktik curang. Ketiga, menegakkan netralitas aparat di semua tingkatan. Selain itu, penting membangun budaya politik deliberatif, yaitu politik yang mendorong dialog dan musyawarah serta gotong royong agar perlu dihidupkan kembali sebagai nilai khas demokrasi Indonesia yang membedakannya dari sekadar kompetisi elektoral. Tentu dengan demikian, Pilkades tidak hanya melahirkan pemimpin, tetapi juga membentuk karakter politik masyarakat yang lebih dewasa dan kritis. Tantangan dan Realitas Demokrasi Lokal - Meskipun Pilkades menjadi simbol partisipasi rakyat, praktik di lapangan masih menyimpan banyak tantangan. Fenomena politik uang, fanatisme kelompok, rendahnya literasi politik, dan lemahnya netralitas aparat desa sering mencederai nilai demokrasi itu sendiri. Tidak jarang, Pilkades justru menjadi sumber konflik sosial akibat perbedaan pilihan politik. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi elektoral di tingkat lokal masih perlu dibimbing agar tidak hanya formalitas prosedural, tetapi juga substantif dalam arti mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan warga. Selain itu, banyak masyarakat yang masih memandang pemilu sebagai ajang transaksional, bukan sarana perjuangan gagasan. Kondisi ini menandakan bahwa pendidikan politik dan kesadaran kritis warga masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa ini. Dari Desa untuk Demokrasi Indonesia - Masa depan demokrasi Indonesia sesungguhnya sedang diuji di tingkat lokal. Jika desa mampu menjadi ruang demokrasi yang sehat, maka bangsa ini memiliki pondasi yang kuat untuk melahirkan pemilu nasional yang berintegritas. Penguatan demokrasi elektoral lokal berarti menanam benih demokrasi yang hidup bukan demokrasi yang hanya hadir di musim pemilihan. Dari desa, nilai-nilai partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dapat tumbuh menjadi budaya politik baru yang lebih matang dan berkeadaban. Penguatan demokrasi elektoral lokal merupakan pondasi bagi kualitas demokrasi nasional. Pilkades yang diselenggarakan secara jujur, adil, dan partisipatif akan melahirkan pemimpin yang legitimate dan dipercaya masyarakat. Dari proses ini, terbentuk budaya politik yang sehat dan kesadaran kolektif akan pentingnya kedaulatan rakyat. Sebaliknya, jika demokrasi di desa rapuh, maka demokrasi nasional pun akan mudah goyah. Oleh karena itu, memperkuat demokrasi lokal berarti menanam benih demokrasi sejati yang tumbuh dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dari desa, demokrasi Indonesia menemukan makna dan kekuatannya yang sesungguhnya. Dari sinilah kita dapat berkata bahwa penguatan demokrasi nasional dimulai dari Pilkades yang bermartabat

Moderasi Beragama dalam Penyelenggaraan Pemilu 2024

Oleh: Ali Rido (Ketua KPU Kabupaten Bekasi) Semua kita beragama, meyakini bahwa ada aturan Ilahi yang mengendalikan kehidupan ini. Tidak ada satupun kehidupan ini yang agama tidak memberikan arahan, baik yang sifatnya langsung atau tidak langsung. Baik yang sifatnya praktik maupun pemikiran. Baik yang sifatnya teknis maupun moral. Dari Iman, Islam dan Ihsan. Dari ibadah, muamalah hingga akhlakul karimah. Oleh karena itu, adalah mustahil jika agama harus kita keluarkan dari urusan politik, apalagi kepemiluan. Bicara PEMILU Atas nama urusan duniawi, lalu politik kita pisahkan dengan keyakinan karena politik penuh dengan kotoran maka agama lantas tidak ikut campur. Agama dan tentu para agamawannya cukup berada di menara gading, atau duduk di keimaman bersama para makmumnya dengan nyaman. Pandangan sekularitas seperti ini tidak cocok untuk Indonesia. Justru karena politik penuh dengan intrik, agama harus turun tangan. Justru karena politik seringkali menghalalkan segala cara, maka agama harus mengharamkan. Justru karena penegakan hukum di Pemilu sering kali tidak berhasil, maka agama perlu melakukan pembatasan. Akan tetapi, keterlibatan agama dalam politik, memang bukan pada sisi prosedurnya. Bahkan saat ini kita menggunakan agama dalam politik masih dalam konteks menjatuhkan lawan, memancing emosi bahkan memecah belah persatuan. Agama yang dimaksud harus ikut campur adalah dari sudut ajaran adiluhung dan moralitasnya. Agama mengajarkan kejujuran, maka Pemilu harus transparan. Agama mengajarkan amanah, maka politik harus memiliki daya akuntabilitas dan penuh tanggung jawab. Agama mengajarkan kecerdasan, maka politik harus bersifat deliberatif di mana perbincangan Pemilu wajib mendidik dan beradab dan agama mengajarkan untuk berujar dengan baik, di mana politik harus disampaikan dengan kesantunan. Adapun moderasi adalah kesedangan, tidak lebih tidak kurang. Kata kunci moderasi adalah pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Moderasi adalah wasathiyah yang memiliki padanan kata dengan tengah-tengah, adil, berimbang dan pilihan terbaik. Moderasi juga berarti perantara, pelerai, dan pemimpin pertandingan. Moderasi pada akhirnya merupakan sikap dan pandangan yang tidak berlebihan, tidak ekstrem dan tidak radikal. Moderasi beragama dalam penyelenggaraan Pemilu? Pertama; penghormatan. Penghormatan terhadap sikap politik dan pilihan orang dalam kepemiluan. Menghormati pilihan politik pribadinya masing-masing. Politik kesalingan yaitu saling menghormati dan tidak menjelek-jelekkan satu sama lain hanya karena perbedaan pilihan. Penghormatan juga bersikap biasa dalam dukung mendukung. Tidak ekstrem dan berlebihan. Tidak menganggap urusan dukungan politik adalah segala-galanya dan perkara hidup mati bagi seseorang. Jika tidak mendukung, maka dia adalah musuh yang wajib diperangi. Tidak seperti itu, politik adalah penghormatan pilihan. Perbedaan pilihan politik adalah perkara biasa. Kedua; kejujuran. Sering kali dalam peristiwa politik kita mendengar, apa yang disampaikan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Ibaratkan main biliar, yang dituju bola delapan, yang disodok bola enam. Komunikasi politik berlaku seperti itu. Katanya permanen membangun koalisi, tapi praktiknya saling salip seperti pebalap MotoGP. Kita juga sering mendengar, penyelenggaraan Pemilu kurang transparan. Kurang jujur dan tidak terbuka. Peristiwa Pemilu mutakhir membuktikan, keterbukaan informasi terkait penyelenggaraan Pemilu berakibat langsung pada hasil dan dugaan pelanggaraan yang mempengaruhi kepercayaan. Ketidakjujuran selaras dengan ketertutupan informasi. Padahal keterbukaan penyelenggaraan mutlak dilakukan untuk mewujudkan integritas penyelenggaraan Pemilu ke depan. Pemilu yang jujur adalah Pemilu yang menyajikan apa adanya. Informasi yang ada tidak perlu ditutup-tutupi, apalagi dibuat-buat. Sekarang ini kita menghadapi tantangan yang maha dahsyat terkait dengan kejujuran dalam pemberian informasi. Yaitu misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Antara informasi, fakta dan realitas disebarkan secara salah dan dipercaya secara keliru. Kita wajib menangkal praktik culas ini dengan literasi digital dan berpikir kritis, meningkatkan kepercayaan dengan validitas konfirmasi sekaligus dapat membedakan mana media tepercaya dan mana yang abal-abal. Apabila ada konteks hoaks atau ujaran kebencian, maka kita tidak langsung percaya atau bahkan menyebarkan kembali. Tetapi membaca seluruh berita, mencari sumbernya, melihat manfaatnya dan melaporkannya jika melanggarkan ketentuan Undang-Undang. Kejujuran adalah keterbukaan informasi. Keterbukaan data-data kepemiluan. Keterbukaan dana kampanye Pemilu. Keterbukaan proses dan hasil Pemilu. Keterbukaan adalah pesan agama untuk mewujudkan kejujuran dan keadilan (jurdil) dalam Pemilu. Ketiga; tanggung jawab. Menjaga amanah adalah pendidikan kita sejak kecil. Kita diajarkan untuk tidak berkhianat terhadap tindakan kita sehari-hari. Amanah dalam Pemilu adalah bertanggung jawab terhadap pilihan politik sekaligus menjalankan pemerintahan secara akuntabel. Menjaga amanah dimulai dari penyelenggara Pemilu, baik di KPU dan Bawaslu beserta jajarannya. Amanah untuk menjalankan tahapan Pemilu agar demokratis prosesnya, berkualitas hasilnya. Menjaga amanah yang kedua adalah dari peserta Pemilu yaitu partai politik dan calon. Baik pada saat mengikuti proses apalagi nanti ketika sudah terpilih. Amanah harus benar-benar dipegang. Jangan dilupakan, apalagi nanti setelah terpilih menjadi pejabat publik. Akuntabilitas antara calon dan rakyat harus terus dibangun. Demokrasi yang baik itu keterlibatannya dari sebelum Pemilu, saat Pemilu dan tentu setelah Pemilu. Pemerintahan yang baik di dunia ini selalu terlihat dari partisipasi setelah Pemilu, meskipun saat Pemilu partisipasinya rendah. Itulah tanggung jawab bersama, menjaga amanah dari semua sisi. Menjaga amanah yang paling mudah bagi kita adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang kepemiluan, mencari latar belakang partai dan calon untuk menjadi pertimbangan, menyalurkan aspirasi dengan rasa tanggung jawab yang kuat serta melakukan pemantauan terhadap terjadinya pelanggaran. Itulah makna moderasi beragama dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, bagaimana langkah-langkah strategis kita ke depan untuk mewujudkan Pemilu yang berkeadilan.

Refleksi Pemuda dalam Bingkai Politik Electoral

Oleh: Ali Rido (Ketua KPU Kabupaten Bekasi) Pemuda merupakan masa transisi yang cenderung memiliki kekuatan untuk berpikir kritis memacu adrenalin untuk mewujudkan visi misi hidup dan kehidupan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam tujuan tertentu. Memaknai akan sebuah pemuda seutuhnya tercermin pada setiap persoalan dan tantangan pemuda itu sendiri. Kompleksitas pemuda kita terjemahkan sebagai sebuah tantangan yang terus menerus memiliki kebaruan dalam melakukan sesuatu tujuan, untuk itu dengan segala kerentanan kita dapat mengakumulasi sebuah tujuan pemuda secara utuh dan apik. Butuh sebuah tuntunan bahkan bimbingan secara kekayaan intelektual agar para pemuda mampu menerapkan ide dan gagasan yang mulia sebagai pemuda. Konteks lain pemuda selalu di kaitkan sebagai agen of change yan acap kali menjadi menjadi penerus para cita cita bangsa, para pendahulu mengatakan kekuatan bangsa ini tergantung pada pemuda nya. Karena pemuda masa kini adalah harapan bangsa untuk masa depan. Akhir akhir ini banyak pemuda yang melakukan langkah pasti menuju perubahan demokrasi yang sangat cepat, globalisasi semakin mengalami perubahan dengan sistem serba  digital dan serba cepat, mampukah para memuda beradaptasi dengan hal tersebut. Pemuda memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan positif melalui partisipasi politik, meskipun sering menghadapi kendala seperti keterbatasan sumber daya dan tekanan dari pemegang kuasa. Untuk memaksimalkan peran pemuda, dukungan pelatihan politik dan kesempatan partisipasi yang inklusif perlu diberikan. Pemuda merupakan bagian penting dari populasi suatu negara. Mereka memiliki energi, semangat, dan gagasan segar yang bisa membawa perubahan dalam sistem politik. Namun, penting untuk memahami bagaimana pemuda terlibat dalam panggung politik. elektoral dan bagaimana kuasa politik mempengaruhi partisipasi mereka.  Pemuda bisa terlibat dalam politik elektoral dalam beberapa cara. Pertama, mereka dapat menjadi pemilih aktif yang berpartisipasi dalam pemilihan umum, memberikan suara mereka kepada calon yang mereka anggap mewakili aspirasi dan kepentingan mereka. Pemuda juga dapat terlibat secara langsung dalam kampanye politik, baik sebagai relawan, aktivis, atau anggota partai politik. Mereka juga menghadapi beberapa kendala dan tantangan dalam terlibat dalam panggung politik elektoral. Salah satunya adalah keterbatasan sumber daya dan aksesibilitas. Pemuda sering kali tidak memiliki sumber daya finansial dan dukungan yang memadai untuk terjun ke dalam politik. Selain itu, adanya stereotip negatif tentang pemuda dalam politik juga bisa menjadi hambatan. Pengaruh Kuasa politik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peran pemuda dalam politik elektoral. Terkadang, pemuda mungkin menghadapi tekanan dari pihak yang berkuasa, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang mempengaruhi partisipasi mereka. Kuasa politik juga bisa mempengaruhi kebijakan dan prioritas yang berdampak pada pemuda, baik secara positif maupun negatif. Untuk memastikan peran yang lebih aktif dari pemuda dalam politik elektoral, penting bagi pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan partai politik untuk mengambil langkah-langkah tertentu. Ini termasuk memberikan pelatihan politik kepada pemuda, menciptakan kesempatan partisipasi yang  inklusif, dan mempromosikan aksesibilitas dan keadilan dalam proses politik. Keterbatasan sumber daya, aksesibilitas, dan stereotip negatif tentang pemuda dalam politik merupakan beberapa kendala yang perlu diatasi. Selain itu, pengaruh kuasa politik juga dapat mempengaruhi partisipasi pemuda dalam politik elektoral. Tekanan dari pihak berkuasa, baik secara langsung maupun tidak langsung, serta kebijakan dan prioritas yang ditetapkan oleh pemegang kuasa dapat mempengaruhi peran pemuda dalam proses politik. Namun, untuk mendorong partisipasi aktif pemuda dalam politik elektoral, langkah-langkah tertentu dapat diambil. Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan partai politik perlu memberikan pelatihan politik kepada pemuda, menciptakan kesempatan partisipasi yang inklusif, dan mempromosikan aksesibilitas serta keadilan dalam  proses politik. Dengan demikian, pemuda dapat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan politik yang mempengaruhi masa depan mereka dan masyarakat secara keseluruhan. Hal itulah yang menjadi tantangan para pemuda, mampukah bisa menunjukan kegigihan nya dalam mengisi ruang ruang kosong melibatkan diri untuk menjadi aktor bukan penonton pada setiap ruang, mengambil kebijakan kebijakan politik. Tentunya butuh keberanian tidak hanya keinginan semata. Harapan besar agar para penerus bangsa sosok muda yang akan melanjutkan estapet aktor sekaligus pelaku kebijakan harus mencerminkan sosok pemimpin guna menjadi Pemuda yang mampu mengisi ruang ruang politik electoral kedepan. Insallah.....

Kesantunan Politik yang Terdisrupsi

Oleh: Ali Rido (Ketua KPU Kabupaten Bekasi) Tahun 2024 merupakan tahun bersejarah yang mengingatkan kita sebuah pesta Demokrasi yang terjadi di Negara tercinta yakni Indonesia. Telah dilakukan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala daerah secara serentak di tahun yang sama. Peristiwa tersebut di akui tidak hanya Indonesia namun bangsa dan negara lain telah memploklamirkan keberhasilan kana hal itu. Secara legitimasi KPU telah membuktikan keberhasilan akan hajat tersebut kedalam sebuah catatan sejarah yang sulit ditolak oleh siapaun, dibalik kelebihan dan kekurangan tentunya menjadi evaluasi kedepan bagi lembaga yang selalu menjaga integritasnya yakni KPU. Di era teknologi yang super digital akankah kita mampu melawan dan mengantisifasi berbagai berita yang berkembang hoack dan ujaran kebencian yang menggerus akan fitrah manusia sebagai insan yang baik. Terutama menjadi aktor poltik yang penuh intrik dalam aktualnya. Mampukah mereka menjalani sesuai dengan yang di amanatkan dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan bernegara dan berbangda menuju masyarakat sejahtera. Berbicara tentang politik kesantunan bukan perkara mudah menjaga etika, sikap dan tata krama tidak hanya terpapar pada sebuah gambar dalam media sosial namun juga butuh fakta yang nyata dalam kata tidak hanya beretorika namun semata, selain itu juga sikap atau perbuatan yang mencerminkan kepribadian seseorang kepada sesama. Konsep budaya politik yang menitikberatkan pada imajinasi (pikiran dan emosi) manusia yang menjadi dasar segala tindakan. Menuju pembangunan dan modernisasi, masyarakat menempuh jalan yang berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, dan hal ini terjadi karena adanya peran budaya sebagai salah satu faktornya. Rangkaian tersebut menghantarkan apa yang menjadi catatan kali ini, karena kesantunan akan tercipta jika ada keselarasan antara pikiran, emosi dan tindakan yang selaras. Banyak sekali hal yang harus dicapai untuk mewujudkan dalam mencapai predikat kesantunan dalam berpolitik saat ini. Serangkaian termanispestasi pada sebuah kodrat manusia yang sejatinya pasti memiliki sifat dan sikap yang luhur terhadap sesama untuk bermasyarakat, namun apakah bisa kita menjadi aktor politik yang santun. Ini tugas kita tugas aktor politik yang harus diselimuti sikap kesantunan dalam menerapkan praktik politik nya. Bicara politik bicara sebuah hajat kepentingan orang banyak yang begitu terjal dan berliku tentang syarat dan cara yang jitu untuk melkakukannya. Bicara banyak kepentingan seseorang tentunya berbeda dengan isi dan pemikran kepala. Akan kah mampu meluncur mulur konteks menjaga kesopanan dalam berpoltik. Era Ditrupsi politik, partai politik baru memiliki peluang untuk menarik massa dengan strategi yang efektif dan inovatif. Mereka dapat memanfaatkan teknologi infirmasi untuk menghadapi persaingan elektoral dan memanfaatkan media sosial untuk pengerahan masa dan lain sebagainya. Tidak hanya itu partai poltik di hadapkan pada sebuah tantangan seperti perpecahan internal dan partai politik mungkin terpengaruhi oleh arus distrupsi yang akut. Sebuah gagasan yang sangat baik jika era ini mampu di manfaatkan untuk menjadikan partai poltik yang memiliki sumber daya manusia sebagai pengurus memiliki tatanan kesopanan dalam menggapai tujuannya. Tentunya bukan perkara yang mudah dalam menggapai nya. Catatan lain yang tidak terpisahkan yakni mampukan para aktor poltik memperoleh edukasi dan bisa memperoleh asupan tentang bagaimana menjadi aktor yang akan kesantunan. Tantangannya adalah sifat dan sikap serta tindakan tidak butuh alat atau bahkan barang untuk menopangnya. Tentunya tidak hanya sebuah literasi saja yang dibutuhkan untuk menunjang sebuah kesopanan poltik namun juga butuh bimbingan serta dorongan bagaimana menjacapai sebuah tujuan poltik dengan syarat kepentingan bisa di capai tanpa harus mengorbankan atau menindas pihak lain untuk menggapai sebuah tujuan tertentu. Butuh sebuah perjuangan, kerja keras serta harus di dasari sebuah kesadaran bahwa fitrah yang tersirat sebagai manusia yang memiliki hati nurani mampu mengimplemetasi sebagai sebuah bentuk nilai kesopanan dalam berpolitk akan terwujud. Jika tidak tatanan dan kepentingan orang banyak tentang tujuan berpolitik untuk mensejahterakan masyarakat kan pupus dan hilang terbawa arus yang besar dan hanya sebagai simbol semata. Pencitraan ataukah hanya janji janjin yang mucul jika sebuah tujuan mulia dengan bungkusan kesopanan termarjinalkan oleh sebuah kepentingan yang amat picik dlakukan, menghalalkan segala cara menindas kaum minoriitas dan membungkus sebuah kemenangan dengan cara cara yang tidak patut. Akhirnya tugas kita semua untuk megambil alih sebagai aktor terkuat sebagai masyarakat untuk melakukan dan berperan aktif untuk menjaga para dari para aktor politik melakukan hal hal yang merugikan kita merugikan masyarak indonesia.

Mengenal Demokrasi: Demokrasi Untuk Kesejahteraan (Episode 4)

Oleh: Bimo Saputra Sebagian orang percaya bahwa kesejahteraan hidup yang lebih baik dapat dicapai oleh negara yang menerapkan sistem demokrasi. Keyakinan didukung oleh fakta negara barat seperti Amerika Serikat yang menunjukkan kemajuan kesejahteraan hidup yang tinggi. Sebagian orang lagi kurang percaya bahwa negara yang menerapkan sistem demokrasi dapat mencapai kesejahteraan hidup rakyat. Keyakinan yang ini menunjuk fakta India yang menerapkan sistem demokrasi, tetapi pencapaian kesejahteraan hidup rakyatnya rendah. Bisa jadi, Indonesia menjadi contoh yangn menyerupai India. Lalu, disebutnya Cina yang menunjukkan peningkatan pesat kesejahteraan hidupnya, padahal tidak sepenuhnya menerapkan sistem demokrasi. Perbedaan pendapat orang tentang keyakinan bahwa demokrasi dapat menyejahterakan atau tidak mampu menyejahterakan memerlukan jawaban yang teoritis dan empiris. Secara teoritis, hubungan demokrasi dan kesejahteraan, dikonsepkan oleh pemahaman demokrasi sosial. Menurut paham ini, demokrasi tidak semata-mata dilihat dari aspek politik, melainkan demokrasi diisi dengan paham sosial, yaitu demokrasi untuk kesejahteraan rakyat (democratic welfare). Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh rakyat untuk kesejahteraan umum, yang disebut demokrasi sosial atau kolektivisme [*Bagirmanan dan Susi Dwi Harijanti, h.7]. Menurut Alexander Petring et. al, yang dikutip Bagirmanan dan Susi Dwi Harijanti, negara kesejahteraan merupakan inti demokrasi. [*Bagirmanan dan Susi Dwi Harijanti, h.8]. dari sudut pandang inilah pemerintahan demokratis adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh rakyat untuk kesejahteraan umum. Hubungan demokrasi dan kesejahteraan pun dapat diusut dari asas-asas demokrasi liberal (konstitusional). Dari asas atau prinsip demokrasi bisa diurai hubungannya dengan kesejahteraan rakyat. Mengacu pada uraian di muka serta mengacu kepada pernyataan Samuel P. Huntington [*Samuel P. Huntington, The Future of The third Wave, h. 6] dan Larry Diamond [*Larry Diamond, The End of the Third Wave and The Start of the Fourth, dalam Plattner, Marc F. Joao Calos Espada, The Democratic Invention, (Baltimor: The John Hopkins University Press 2000, 17)], dapat disarikan bahwa demokrasi memiliki asas-asas universal yang meliputi : (a) pemilu yang bebas, jujur, dan kompetitif, (b) kebebasan individu, (c) kesamaan hak, (d) aturan hukum, (e) keadilan, (f) pembatasan kekuasaan dan perlindungan HAM. Pendapat ini sejalan dengan rekomendasi International Commission of Jurists dalam Miriam Budiarjdo sebagaimana telah dikutip di atas. Penjelasan makna asas-asas universal dan penerapannya dalam kehidupan dapat menjelaskan hubungannya secara konseptual dengan kesejahteraan rakyat. Sebagai contoh dapat diilustrasikan asas kesamaan hak. Kesamaan hak individu dan kebebasan berpendapat, berkumpul, dan beraktivitas merupakan ruang bagi rakyat untuk melakukan kegiatan ekonomi secara bebas tetapi tetap dibatasi hukum. Agar penggunaan kebebasan di bidang ekonomi tidak melampaui batas, negara harus hadir menegakkan keadilan sosial ekonomi dengan ikut mengontrol melalui regulasi tentang hak kepemilikan sumber-sumber ekonomi, produksi, distribusi, dan harga. Begitu peran negara dalam mengendalikan kegiatan ekoonomi dalam mengendalikan kegiatan ekonomi dalam konsep demokrasi liberal (konstitusional), kebebasan yang dibatasi oleh sistem pengaturan. Tentang hubungan kesejahteraan dengan Pemilu, dapat diidentifikasi dari asas-asas demokrasi dalam Pemilu. Asas bebas, jujur, dan adil membuka kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpinnya yang menawarkan konsep dan cara meningkatkan kesejahteraannya. Setelah terpilih, pemimpin diberi wewenang sepenuhnya dan diserahi tanggung jawab untuk menjalankan tugasnya guna tercapai tujuan pemerintahan, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun, perlu digarisbawahi bahwa Pemilu yang menjanjikan kesejahteraan itu Pemilu yang bebas, jujur, dan adil. Pilihan negara demokrasi oleh para pendiri bangsa semestinya dipahami dari perspektif kesejahteraan umum. Dapat dipastikan bahwa pilihan prinsip kedaulatan rakyat dalam pengelolaan negara, didasarkan atas keyakinan bahwa negara penganut sistem demokrasi dapat menghantarkan kepada kesejahteraan rakyat. Keyakinan ini terbaca dalam rumusan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu “….untuk memajukan kesejahteraan umum..” yang kemudian dihubungkan dengan alinea berikutnya yang menyatakan berdasar…..(Pancasila) yang di dalamnya ada konsep demokarasi, khususnya sila ke-empat dan sila ke-lima (demokrasi ekonomi). Jadi, sistem negara demokrasi adalah pilihan politik kebangsaan sejak berdirinya bangsa ini dan dinyatakan dalam konstitusi pasal 1 UUD 1945. Sedangkan kesejahteraan adalah salah satu tujuan demokrasi. Membahas tujuan demokrasi dengan kesejahtaraan, perlu dikemukakan pengertian tentang kesejahtaraan mana yang dimaksud di sini. Untuk memahaminya, cukuplah dikemukakan indikator-indikatornya. Ada banyak indikator kesejahteraan yang ditawarkan. Antara lain, ada indikator Gross National Happiness (GNH) dari Raja Bhutan, Jigme Singye dan Wangchuck; indikator Physical Quality Life Index (PQLI) dari Mooris, dan Human Development Index (HDI) dari UNDP. Secara umum, indikator kesejahteraan hidup adalah daya beli (purchasing power). Indikator ini digunakan oleh pemerintah dengan mengacu kepada konsep dari UNDP, yang diterjemahkan menjadi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indikator IPM meliputi tiga komponen: indeks Kesehatan, indeks Pendidikan, dan indeks Paritas Daya Beli. Manapun konsep indikator yang digunakan, kesejahteraan hidup (life welfare) atau disebut pula kesejahteraan rakyat (people welfare) atau negara sejahtera (welfare state), substansinya menunjuk pada suatu kondisi terpenuhinya secara memadai kebutuhan material, mental dan spiritual sehingga tercipta rasa aman dan bahagia karena tercukupi kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, pendapatan, peribadatan, lingkungan sosial, dan perlindungan dari risiko yang mengancam kehidupan. Ternyata, perkonsep, demokrasi itu seperti dukun yang minta sesaji kepada pasiennya agar “pamaksadan” terkabul. Demokrasi bisa menyejahterakan rakyat jika dipenuhi syaratnya atau ciri-cirinya sebagaimana telah dikemukakan, yaitu (a) pemilu berjalan bebas, jujur, dan adil; (b) pejabat pemerintah menjalankan tugasnya dengan baik, tidak serakah, rakus dan korup; (c) sistem ekonomi kapasitas berjalan “dengan rasa” sosialis; (d) keadilan hukum tegak pada semua bidang kehidupan dan kepada semua warga, dan (e) demokrasi yang dipraktikkan adalah meminjam istilah Larry Diamond - level demokrasi konstitusional. Tak pelak lagi, ada janji sejahtera dalam konsep demokrasi, tetapi dengan prasyarat. Masalahnya, prasyarat demokrasi di Indonesia tak kunjung terpenuhi secara fungsional dan optimal walaupun janji kesejahteraan selalu diucapkan setiap kali kampanye Pemilu. Maka, wajarlah peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya belum beranjak dari status harapan saat kampanye walaupun ada segolongan kecil rakyat yang makin kaya dan menguasai sumber-sumber kekayaan. Gejala seperti ini bisa terjadi pada negara yang menerapkan sIstem demokrasi liberal.

Publikasi