Pancasila Sebagai Ideologi Tak Boleh Stagnan (Dalam Demokrasi)
Oleh : Khoiruddin (Anggota KPU Kabupaten Bekasi)
Sebelum membahas lebih jauh terkait Pancasila sebagai ideologi (keterkaitan demokrasi), mari kita pahami mengenai Pemilu dalam demokrasi. Salah satu ciri demokrasi adalah adanya Pemilihan Umum yang bebas, jujur, dan adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat. Pemilu merupakan salah satu bentuk perwujudan demokrasi. Sedemikian pentingnya posisi Pemilu sebagai ciri demokrasi, maka rezim otokratis pun semisal Orde Baru tetap melaksanakan Pemilu secara berkala.
Bagi rakyat Indonesia, Pemilu menjadi harapan memasuki pintu kesejahteraan. Pada tahap awal era reformasi, rakyat menunjukkan antusiasnya dalam mengikuti Pemilihan Umum Legislatif, Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah walaupun dalam situasi ekonomi yang buruk. Ini menjadi isyarat bahwa rakyat selalu menaruh harapan terhadap Pemilu, yaitu harapan adanya hikmah peningkatan kesejahteraan rakyat melalui kinerja para pemimpin hasil Pemilu.
Pemilihan Umum di Indonesia menjadi siklus teratur lima tahunan semenjak Pemilu 1955, terutama semenjak Pemilu tahun 1971 pada awal orde baru sampai masa reformasi saat ini walaupun Pemilu kita diselenggarakan di atas wajah demokrasi yang berubah-ubah semenjak demokrasi terpimpin ala Ir. Soekarno, demokrasi Pancasila ala Soeharto, dan demokrasi ala reformasi. Jika dihitung jumlah waktunya, bangsa ini telah melaksanakan tiga belas kali Pemilu dari segi periode waktunya (lima tahunan), yaitu tahun 1955, 1972, 1977,1982,1987,1992,1997,1999, 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024
Pada era reformasi, tertama pada masa-masa awal, rakyat menunjukkan atusiasme tinggi dalam penyelenggaraan Pemilu. Antusiasme ditunjukkan oleh rakyat karena pada era ini mulai diterapkan sistem pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Juga, pemilihan langsung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dimulai sejak tahun 2005 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pada rentang Pemilihan Umum sejak tahun 2014 sampai sekarang, sistem Pemilu pada tingkat prosedur terus berubah dan dikoreksi oleh lembaga pembentuk hukum untuk menentukan sistem Pemilu terbaik bagi bangsa ini entah menurut ukuran apa.
Pernyataan di atas cukuplah menjadi alasan untuk menegaskan bahwa Pemilu merupakan salah satu instrumen demokrasi. Demokrasi menjadi tidak sah tanpa Pemilu. Namun tidak sekedar Pemilu yang memenuhi aspek prosedural saja, tetapi juga jumlah Pemilu yang secara subtansial ditandai berfungsinya asas bebas, jujur, dan adil yang mengarahkan kepada perwujudan kesejahteraan umum. Asas ini juga mengikat Bangsa Indonesia karena asas ini dinyatakan dalam konstitusi UUD 1945 pasal 22E ayat (1).
Masuk pada topik judul di atas, mari kita lihat uraian di muka (Mengenal Demokrasi #episode 1) dengan topik Bersikap Kritis Terhadap Praktik Demokrasi Liberal menyiratkan nuansa bahwa praktik demokrasi di Indonesia belum memuaskan sebagian orang, baik praktik demokrasi politik maupun demokrasi sosial. Tidak sedikit orang menunjukkan keresahan terhadap penampakan praktik demokrasi dengan kebebasan yang berlebihan, demokrasi yang bernuansa mobokrasi, demokrasi yang seolah-olah melemahkan penegakan hukum, demokrasi yang menginterupsi kesejahteraan umum, dan seterusnya. Sebagian orang meyakini bukan praktik demokrasi seperti ini yang diimajinasikan ideal bagi rakyat Indonesia. Praktik demokrasi (belum bicara model) yang diidealkan adalah praktik demokrasi yang membuat keteraturan, memelihara kekeluargaan (silaturahmi), mempercepat kesejahteraan umum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan spiritual, demokrasi tanpa kekerasan, dan seterusnya.
Lalu, orang mulai membuka khazanah kekayaan nilai-nilai demokrasi “lokal” Indonesia. Orang mulai mengingat-ingat lagi nilai-nilai demokrasi dalam sila Pancasila. Tapi nampaknya lidahnya kelu untuk bicara nyaring, khawatir melawan arus reformasi, arus gelombang demokrasi liberal yang sedang dibawa oleh gerakan globalisasi melalui mekanisme pasar bebas yang diikat melalui perjanjian dan komitmen global (AFTA, WTO, GATTS, MEA) yang membutuhkan ruang bebas, yaitu demokrasi liberal.
Sesungguhnya, tak perlu khawatir berbicara tentang demokrasi lokal versus demokrasi global (liberal) karena sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa prinsip-prinsip universal demokrasi liberal membuat penerapan demokrasi liberal bersifat dinamis mampu merespon dan mengadaptasi sejarah kebudayaan, realitas sosio-kultural, dan perkembangan masyarakat suatu bangsa sepanjang dapat disesuaikan dengan nilai-nilai dasar demokrasi seperti kebebasan, persamaan, keterbukaan, dan lain-lain. Namun, penyesuaian ini perlu hati-hati karena penyesuaian dengan pemberian kualifikasi tertentu pada demokrasi potensial menghilangkan esensi demokrasi itu sendiri. Seperti yang terjadi di Uni Soviet dengan kualifikasi “demokrasi sentralistik”, di Tiongkok dengan kualifikasi “Demokrasi Rakyat”, dan di Indonesia dengan kualifikasi “Demokrasi Terpimpin” ala presiden Ir. Soekarno.
Persoalannya terletak pada kata sesuai. Sesuai antara dimensi nilai-nilai universal dengan nilai-nilai lokal. Sementara, orang menggunakan standar tafsir nilai universal itu mengacu kepada paham demokrasi barat, sedangkan yang lain mempunyai tafsir sendiri. Akibatnya, parameter sesuai itu menjadi realtif dan bersifat karet. Bisa jadi, demokrasi sentralistik di Uni Soviet, demokrasi rakyat di Tiongkok, dan demokrasi terpimpin yang diintroduksi di Indonesia merupakan bentuk tafsir adaptasi antara nilai-nilai demokrasi dengan realitas sosio-kultural bangsa yang bersangkutan. Namun, bisa juga hanya berfungsi sebagai alat legitimasi politik penguasanya. Ketiga model adaptasi itu, dianggap tidak sesuai dengan demokrasi (liberal) menurut tafsir penganutnya.
Atas dasar argumen konsep demokrasi liberal terbuka terhadap demokrasi lokal, maka adalah sah jika orang mengkreasikan kekhasan demoksari model Indonesia sebagaimana yang dilakukan oleh Malaysia dan Singapura. Kedua negara ini, yatu Malaysia yang dimotori Mahatir Mohamad dan Singapura yang dimotori Lee Kuan Yew benar-benar menerapkan apa yang diklaim sebagai demokrasi lokal Asia. Kedua negara ini berkembang begitu pesat memperoleh kemajuan terutama dalam segi perekonomiannya. Namun, praktik pada kedua negara ini tetap saja mengundang kritik dari para penentangnya bahwa demokrasinya tidak mengandung unsur demokrasi (kebebasan) bahkan cenderung otoriter. Hal ini bisa dilihat dari pembatasan hak-hak sipil dan politik.
Pemikiran kekhasan lokal dalam demokrasi liberal itu perlu dicoba untuk kemungkinan keperluan koreksi ke depan agar bangsa ini tidak mengalami kekeliruan ijtihad demokrasi berkali-kali sejak ijtihad model demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin ala Ir.Soekarno, demokrasi Pancasila ala Soeharto, dan kemungkinan kekeliruan pada demokrasi reformasi sekarang. Percobaan itu perlu dimulai dari ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa, karena sila-sila Pancasila sebagai doktrin ideologis mengandung nilai-nilai dasar yang ideal. Pancasila yang ditetapkan dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 merupakan perjanjian luhur antar komponen Bangsa Indonesia, yaitu golongan kebangsaan, golongan Islam, dan golongan lainnya. Nilai-nilai Pancasila merupakan bentuk kompromi sebagai integrasi berbagai ideologi yang hidup pada saat pembentukan Pancasila, baik yang berciri lokal Indonesia maupun yang berciri internasional.
Sebagai ideologi, nilai-nilai dasar dalam Pancasila mestinya merupakan sumber inspirasi, sumber konsep, dan sumber tujuan dalam merancang suatu tatanan kehidupan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, serta menjaga Persatuan Indonesia. Negara Pancasila menempatkan daulat rakyat (kerakyatan, demokrasi) sebagai sumber mandat pengelolaan negara. Penerapan daulat rakyat tidak dibiarkan bebas liar, tapi harus Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan (ilmu, kearifan, dan kebijaksanaan) melalui mekanisme Permusyawaratan/Perwakilan. Demokrasi (daulat rakyat) yang terkandung dalam Pancasila bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi sosial ekononomi yang ditujukan untuk mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sebagai nilai dasar yang bersifat asasi, sila-sila Pancasila masih bersifat abstrak yang syarat makna. Ia merupakan ideologi terbuka yang menerima penafsiran nilai-nilai operasional dan instrumental untuk diimplementasikan ke dalam bentuk prosedur dan kelembagaan nilai pada semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai idiologi terbuka, ia membuka ruang untuk mengadaptasi pemikiran dan konsep sesuai perkembangan dan tantangan zaman sepanjang sesuai dengan jiwa dan nilai esensial dari Pancasila. Dengan posisi Pancasila seperti ini, nilai-nilai dasar Pancasila bersifat dinamis yang mampu merespon tantangan zaman tanpa kehilangan nilai substansinya.
Karakteristik ideologi Pancasila yang dinamis seperti itu merupakan syarat suatu paham disebut ideologi. Suatu paham bisa disebut ideologi apabila memenuhi tiga dimensi, yaitu (1) dimensi realita, (2) dimensi ideal, dan (3) dimensi fleksibilitas (perkembangan). Dimensi realita artinya bahwa nilai-nilai dasar ideologi itu bersumber dari kehidupan riil masyarakatnya terutama ketika ideologi terbentuk. Dimensi ideal artinya suatu ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Sementara, dimensi fleksibilitas artinya ideologi itu membuka ruang pemikiran-pemikiran baru tentang pemaknaan nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya. Pancasila memiliki tiga dimensi ini.
Nilai-nilai dasar Pancasila ketika berdiri sendiri mungkin bersifat universal karena sebagian sila itu ada pada belahan dunia lain. Misalnya, nilai kerakyatan memiliki kesamaan dengan demokrasi liberal; kemanusiaan memiliki kesamaan dengan internasionalisme; dan keadilan sosial memiliki kecocokan dengan sosialisme. Namun, kekhasan Pancasila itu terletak pada kesatuan nilai-nilai dari lima sila yang saling berkaitan dalam pemaknaannya.
Dalam pengembangan pemikiran-pemikiran baru melalui dialog dengan perkembangan kehidupan, diperlukan pijakan pada semangat dan substansi makna yang berkembang dan dibangun ketika pembentukann sila-sila Pancasila pada sidang BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 dan pada sidang kedua yang berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan tanggal 16 Juli, sekitar Proklamasi, sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, serta penjelasan dari para pendiri bangsa ini pada masa-masa sesudah Proklamasi Kemerdekaan.
Ide tentang demokrasi (demokrasi politik dan demokrasi sosial) terumuskan dalam sila keempat, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam perusyawaratan perwakilan.” Sejauh yang terkait dengan sila ini dapat disimak pernyataan Ir. Soekarno, antara lain, dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 ketika menguraikan dan mengusulkan prinsip permusyawaratan sebagai salah satu dasar negara, Ir. Soekarno mengatakan, “Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan dan pemusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Kemudian pada kesempatan pidato pada Sidang Konstituante di Bandung pada tanggal 22 April 1959, Ir. Soekarno menyampaikan amanat yang disimpulkannya dalam tiga pokok. Pertama, menciptakan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Kedua, bentuklah negara kesatuan berdasarkan faham unitarisme. Ketiga, anutlah cara musyawarah dalam suatu badan atau system monokameral.
Ir. Soekarno dalam kutipan di atas tidak sedang menjelaskan konsep musyawarah. Ia sedang menegaskan pentingnya prinsip musyawarah menjadi mekanisme penyelesaian masalah-masalah kebangsaan dan kemasyarakatan. Dapat dipastikan bahwa ide musyawarah berasal dari pemikiran tokoh utama muslim yang ada pada panitia kecil yang berjumlah sembilan orang yang terdiri dari empat orang tokoh nasionalis sekuler, empat orang tokoh nasionalis islami, satu orang tokoh nasionalis Kristen. Panitia kecil ini bertugas menyusun naskah Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya terdapat Dasar Negara Pancasila.
Pada masa reformasi dan ke depan, diperlukan pemikiran-pemikiran baru tentang ide demokrasi yang berhikmah, berbijaksana, dan bermusyawarah itu. Pemikiran-pemikiran baru itu penting terus dikembangkan karena tiga alasan. Pertama, untuk membuat Pancasila tidak stagnan dan kehilangan fungsinya sebagai idiologi yang mesti berfungsi sebagai sumber ide; kedua, idiologi Pancasila perlu diuji dimensi fleksibilitasnya melalui dialog dengan isu-isu lokal dan internasional; ketiga, konsep yang datang dari luar tak selalu membawa kemajuan sebagaimana yang dicapai negeri asalnya karena perbedaan ikatan kulturalnya. Ide demokrasi lokal bisa dipakai sebagai antithesa ide demokrasi liberal untuk mencegah aspek negatif dari demokrasi liberal dengan cara mengkompromikan dan menyesuaikan tanpa kehilangan dimensi substansi kedua-duanya.
Tentu saja caranya harus melalui dialog terbuka, demokratis (partisipatif), dan menempuh prosedur konstitusional. Cara-cara pemaksanaan dan manipulatif harus dihindari agar tidak terjerumus pada lubang kesalahan berkali-kali sebagaimana pernah dialami demokrasi terpimpin ala Ir. Soekarno dan demokrasi Pancasila model Soeharto. Kesalahan pada keduanya bukan saja terletak pada hasil pemikiran (ijtihad), tetapi juga pada prosedur ijtihadnya. Hasil ijtihad politik boleh salah, tapi prosedurnya harus benar.