Opini

121

Transformasi Pemilu Kaum Milenial

Oleh: Dhany Wahab Habieby (Komisioner KPU Kabupaten Bekasi) Agenda demokrasi bangsa Indonesia pada tahun 2024 yakni menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Legislatif dan Pemilihan Kepela Daerah (Pilkada) Serentak. Tahapan pemilihan umum sudah diluncurkan oleh KPU pada 14 Juni lalu, sedangkan hari pencoblosan akan dilaksanakan pada Rabu, 24 Februari 2024. Sementara pemungutan suara pilkada direncanakan pada tanggal 27 November 2024. Gelaran pemilu dan pemilihan pada tahun yang sama akan diselenggarakan untuk pertama kalinya. Kompleksitas permasalahan muncul dari evaluasi pemilu sebelumnya dan harapan agar pemilu bukan sekedar pemenuhan demokrasi prosedural. KPU akan menggunakan berbagai aplikasi sebagai alat bantu penyelenggaraan pemilu, seperti SIPOL, SIDALIH dan SIREKAP. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara menjadi keniscayaan agar pemilu lebih praktis dan akuntabel seiring perkembangan zaman. Seperti diketahui, populasi terbesar penduduk Indonesia saat ini di dominasi oleh generasi muda yang akrab dengan internet (digital native). Potret pemilih tentu tidak jauh berbeda dengan strukutur demografis masyarakat. Rancangan desain dan tata cara pemilu yang aplikatif dan berbasis digital menjadi model pengembangan demokrasi elektoral masa depan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah penduduk Indonesia pada September 2020 sebanyak 270,20 juta jiwa. Kaum milenial yang lahir pada kurun waktu 1981-1996 (saat ini berusia 26 – 41 tahun) sebanyak 25,87 persen dan generasi Z yang lahir antara 1997 hingga 2005 (usia 17 – 25 tahun) sebanyak 27,94 persen. Generasi X yang lahir tahun 1965-1980 sebanyak 21,88 persen, generasi baby boomer (1946-1964) sebanyak 11,56 persen, post gen z yang lahir tahun 2013 dan seterusnya sebanyak 10,88 persen dan pre-boomer yang lahir sebelum tahun 1945 sebanyak 1,87 persen. Kalangan milenial sudah terbiasa dengan perilaku digital native di tengah masyarakat yang super cerdas (super smart society) atau Society 5.0. Founder Freepo Business System, Legisan S Samtafsir menyebut ada banyak tantangan dan peluang dari dampak masyarakat supercerdas. Pertama, banjir informasi menjadikan masyarakat semakin analitis kritis. Kedua, ketika semua serba daring (online), orang bisa semakin kreatif tetapi juga bisa makin konsumtif. Ketiga, hidup dalam campur aduk budaya atau multikultur, hal yang mesti dipertanyakan apakah budaya kita akan menjadi pemimpin (leader) atau pengikut (follower). Keempat, ketika semua serba terbuka, lintas bangsa dan negara, maka yang terjadi adalah kompetisi, kolaborasi atau bisa jadi kooptasi (Kompas, 5/6/2021). Kondisi tersebut harus menjadi pertimbangan bagi pembuat regulasi dan penyelenggara pemilu dalam menyiapkan penyelenggaraan pemilu serentak 2024. Pemilu konvensional yang sudah berlangsung lama memang memerlukan perubahan dan perbaikan, baik sistem pemilu maupun teknis penyelenggaraan. KPU merencanakan pengembangan berbagai sistem informasi digital yang bertujuan untuk penyelenggaraan pemilu yang efektif dan efisien. Merujuk pada masterplan teknologi informasi KPU, pada tahun 2022 dilakukan pengembangan SIPOL (Sistem Informasi Partai Politik), SIDALIH (Sistem Inforamsi Data Pemilih), SIDAPIL (Sistem Informasi Daerah Pemilihan), SILON (Sistem Informasi Pencalonan), SILOG (Sistem Informasi Logistik). Tahun 2023 dilakukan pembangunan dan pengembangan SIDAKAM (Sistem Informasi Dana Kampanye) dan SIREKAP (Sistem Informasi Rekapitulasi). Seluruh sistem informasi tersebut akan diintegrasikan ke dalam website satu data. Tanpa integrasi, permasalahan TI KPU akan terus berulang, yakni terpisahnya setiap sistem informasi pemilu sehingga kinerja masing-masing sistem kurang efisien, terjadi perbedaan data pada setiap sistem, tidak rapinya infrastruktur TI KPU, dan kurang teraturnya operator pada masing-masing sistem. (https://rumahpemilu.org/rencana-kpu-digitalisasi-pemilu-dan-pilkada-2024/) Sistem digitalisasi pemilu untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang super cerdas harus dibarengi dengan literasi demokrasi kepada seluruh segmen pemilih. Karakter milenial yang akrab dengan virtual lifestyle menjadi peluang dan tantangan untuk diberdayakan guna menumbuhkan pemilih yang cerdas (smart voters). Generasi milenial mempunyai ambisi besar untuk sukses tetapi lebih tertarik dengan kewirausahaan (entrepreunership). Kaum milenial berperilaku instan, kreatif, inovatif dan informatif tetapi mudah bosan. Mereka mencintai kebebasan dan lebih dekat dengan media sosial. Tingkat percaya diri yang tinggi dan lebih menghargai passion. Mereka menyukai hal yang lebih detail dan mengutamakan pengembangan diri, mempunyai keinginan mendapatkan pengakuan dan memiliki daya saing tinggi, melek digital dan teknologi informasi. Kaum milenial yang mandiri dan kritis akan menjadi pemilih terbesar dalam perhelatan pemilu dan pilkada mendatang. Partai politik sebagai peserta pemilu harus mampu menyuarakan keinginan dan kebutuhan dari generasi milenial. Kontestasi gagasan dan programatik lebih diunggulkan daripada mengedepankan jargon emosional dan pragmatis. Pendekatan serta kampanye politik gaya milenial melalui media sosial (medsos) menjadi prasyarat untuk meraih dukungan. Media sosial berhasil memainkan peran yang sangat penting bagi aktor politik dalam mendapatkan suara dan dukungan, khususnya dari kaum milenial. Mereka akan mendapatkan peluang yang luar biasa efektif apabila dilakukan pemberdayaan secara optimal guna meraih pikiran dan hati milenial melalui media digital. Kaum milenial bisa menggunakan medsos sebagai filter yang paling mudah dicapai dalam menyeleksi dan mentracking figur kontestan yang paling layak menduduki jabatan eksekutif dan legislatif. Jejak digital dapat memandu milenial sehingga tidak perlu lagi kebingungan atas sikap dan pilihan politik untuk ke depannya. Bagi penyelenggara pemilu menyiapkan perangkat keras (hardware) dan piranti lunak (software) untuk penyelenggaraan pemilu berbasis digital menjadi keharusan. Dukungan regulasi sangat dibutuhkan untuk memastikan hasil pemilu digital legitimate dan konstitusional. Generasi milenial harus ikut serta dan berperan aktif sebagai penyelenggara pemilu dengan menjadi anggota badan ad-hoc (KPPS, PPS, PPK). Momentum Pemilu 2024 menjadi starting point generasi milenial turun gelanggang menjadi subyek utama perhelatan demokrasi lima tahunan. Pada akhirnya kesuksesan pemilu 2024 tidak hanya diukur dari tingkat partisipasi pemilih semata. Namun, yang lebih penting adalah kemampuan bangsa ini memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk mewujudkan pemilu yang modern, transparan dan berintegritas. []        


Selengkapnya
120

Dari Bilik Suara Berharap Lahir Negarawan

Oleh: Dhany Wahab Habieby (Komisioner KPU Kabupaten Bekasi) Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak akan berlangsung pada hari Rabu, 14 Februari 2024. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan akan menggunakan hak politik untuk menentukan pemimpin (pilpres) dan wakil rakyat (pileg). Partai politik mulai menyusun strategi, merancang koalisi dan menebar pesona untuk meraih dukungan. Beragam cara dilakukan guna menarik simpati rakyat, dari menyebar bantuan sosial hingga memoles citra lewat media massa dan media sosial. Bayang-bayang politik uang (money politic) masih menjadi momok yang mencemaskan dalam perhelatan pemilu di negeri ini. Modus pemberian uang atau barang kepada pemilih oleh kandidat maupun tim sukses agar memilih calon yang diinginkan. Banyak pihak menyakini politik uang laksana virus yang menggerogoti demokrasi. Sistem pemilu proporsional terbuka yang diterapkan saat ini semakin menyuburkan praktik politik uang jelang pemilu. Persaingan terjadi bukan cuma antar parpol, tetapi kontestasi sengit berlangsung antar caleg dalam satu parpol pada dapil yang sama. Biaya pencalonan menjadi sangat mahal dan dampaknya perilaku korupsi semakin merajalela. Modus politik uang berwujud aneka rupa, seperti dibuatkan kartu tabungan, voucher umroh gratis, pembagian kartu asuransi, paket sembako, token listrik, paket internet, menjanjikan pekerjaan serta pemberian uang kontan. Pasal 523 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan; Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak dua puluh empat juta rupiah. Meskipun aturan secara tegas melarang praktik politik uang namun realitanya masyarakat seolah permisif dengan hal tersebut. Banyak alasan yang membuat tumbuh subur benih politik uang, seperti faktor ekonomi/kemiskinan, budaya/kebiasaan dan rendahnya kesadaran politik warga masyarakat. Pengamat Politik UGM, Mada Sukmajati menyebut politik uang bisa dilawan dengan solusi jangka panjang dan jangka pendek. Solusi jangka panjang dengan strategi budaya atau memasukkan materi politik uang ke sub materi antikorupsi dalam kurikulum sekolah. Solusi jangka pendek untuk mengatasi politik uang, yaitu Bawaslu harus proaktif mengawasi pemilu, pemilih berpartisipatif selama proses pemilu berlangsung, sesama peserta pemilu dapat saling mengawasi, termasuk saling mengawasi antar peserta pemilu dari partai yang sama. Sejatinya politik uang tidak berbeda dengan praktik suap yang menjadi akar korupsi di negeri ini. Kontestan rela mengeluarkan dana besar untuk membeli suara (vote buying) dengan harapan bisa balik modal setelah terpilih. Untuk itu, masyarakat perlu disadarkan bahwa politik uang merupakan godaan setan dalam demokrasi elektoral. Bukankah Allah SWT menciptakan setan untuk menguji keimanan hambanya? Kita diberi kemampuan dan pilihan oleh Allah untuk menjauhi segala macam bentuk kemunkaran agar bisa meraih derajat manusia mulia. Kemampuan pemilih untuk menolak politik uang adalah kemenangan dalam pertempuran melawan bisikan setan. Masyarakat mesti terus diingatkan supaya memiliki kesadaran bahwa lima menit di bilik suara sangat menentukan masa depan bangsa. Idealnya menentukan pilihan itu bukan karena iming-iming uang atau barang. Sebaiknya kita mengamanat suara kepada seseorang karena telah mengenal rekam jejak dan integritas yang bersangkutan . Jika kita merujuk kepada asas penyelenggaraan pemilihan umum, maka persoalan politik uang pada akhirnya bermuara kepada setiap diri pemilih sebagai pemilik kedaulatan. Asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara. Asas umum, semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. Asas bebas, setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. Asas rahasia, pemilih yang memberikan suaranya dalam pemilihan umum telah dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan. Asas pemilu tersebut menegaskan bahwa kedaulatan rakyat sepenuhnya dimiliki oleh setiap pemilih. Setiap warga yang mempunyai hak pilih memperoleh jaminan untuk menggunakan hak suaranya di bilik suara secara rahasia tanpa tekanan atau paksaan dari siapapun. Komisioner KPU RI, Dr. Idham Holik berpandangan dalam kontek politik uang atau politik transaksional dapat diibaratkan seperti logika sirkular (circular reasoning) ‘telur dan ayam’. Siapa yang terlebih dahulu ada atau memulai? Apakah kandidat yang mempengaruhi pemilih agar bertindak transaksional dengan politik uang (vote buying) atau pemilih yang berpikiran pragmatis sehingga menuntut imbalan ketika dukungan elektoral diberikan kepada seorang kandidat (vote selling). Praktik politik uang bisa dicegah dengan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dan pemilih secara berkelanjutan. Pemilih yang cerdas memiliki kekebalan (imunitas) yang kuat dari serangan virus politik uang. Meskipun, para kandidat akan berusaha merayu dengan segala cara, baik terang-terangan maupun sembunyi untuk mendapat suara. Pemilu 2024 adalah momentum dan kesempatan bagi semua warga, khususnya kaum muda yang menghendaki perubahan demokrasi menjadi lebih baik (better democracy). Mari kita mulai dari diri sendiri, mulai saat ini untuk berani menolak rayuan politik uang. Memilih kandidat dengan penuh keikhlasan akan menjadi energi positif bagi lahirnya sosok negarawan. Sebaliknya menjual suara dengan harga murah justeru memberi jalan bagi politisi bermental pedagang untuk meraih kekuasaan. Demokrasi substansial dapat terwujud apabila kita mampu memutus lingkaran setan politik uang. Caranya, saat kita berada di bilik suara mampu mencoblos sesuai kata hati bukan karena transaksi.**  


Selengkapnya