Mengenal Demokrasi: Praktik Demokrasi Yang Kering; Nilai dan Suara Terbanyak Bisa Menyesatkan (Episode 2)
Oleh: Bimo Saputra Memahami tata nilai dalam praktik demokrasi bisa diawali dari pembacaan terhadap realitas praktik demokrasi dalam kehidupan kepartaian dan kemasyarakatan. Kita disuguhi praktik kehidupan demokrasi yang anarkis, ditandai perilaku marah, tegang, rebut, gaduh, saling gugat, terbelah, dan silaturahmi pun rusak. Di kesempatan lain ditampilkan tontonan protes, marah, cacian, umpatan, tegang, kadang tetes darah. Itulah kata-kata simbolik yang melukiskan sisi buruk kesantunan praktik demokrasi di negeri kita sejak awal reformasi hingga saat ini. Kesan ini terekam dari perilaku orang-orang ketika musda, muscab, munas, muktamar, kongres, konferensi yang diselenggarakan oleh sebagian ormas dan sbagian parpol. Juga terbaca di jalanan dalam sebagian perilaku demo. Bahkan, demokrasi cenderung mengarah ke mobokrasi (kekuasaan di tangan segerombolan orang). Konflik terjadi di beberapa daerah akibat kasus Pemilu, pertanahan, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Praktik demokrasi cenderung bergerak ke arah yang mengancam keutuhan bangsa. Inilah yang dikhawatirkan oleh Natsir (tokoh Masyumi) ketika menanggapi gagasan demokrasi terpimpin yang ditawarkan Presiden Ir. Soekarno kala itu. Natsir mengatakan, “demokrasi bisa berkembang menjadi anarki apabila tidak berjaga-jaga terhadapnya” [*Deliar Noor, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: PT Pusaka Utama Grafiti,1987) h.355]. Dalam konteks pernyataan itu, lalu dia menunjuk pernyataan rekannya, Syarifudin Prawiranegara, yang mengatakan : “Inilah bahaya yang sebesar-besarnya, yang mengancam negara kita yakni bahwa demokrasi tenggelam dalam koalisi dan kemudian koalisi dimakan oleh anachie dan anarchie diatasi oleh golongan-golongan yang bersenjata dan golongan yang menguasasi golongan-golongan yang bersenjata.” [*Syarifudin Prawiranegara, Indonesia di Persimpangan Jalan (Jakarta/Bandung: Alma’arif, 1951), h. 51 dalam Deliar Noor, Partai-Partai, h.355]. Sisi wajah keras dan tidak santun dari perilaku berdemokrasi itu, dikhawatirkan akan semakin menampakkan diri pada kehidupan demokrasi di masa datang, termasuk di dalam penyelenggaraan Pemilu. Kekhawatiran ini merujuk pada pengalaman Pemilu sebelumnya di sebagian daerah yang wajah keras itu menyeruak gaduh, sehingga tak jarang mengakibatkan masyarakat menjadi terpecah dalam silaturahmi antar sahabat pun terputus hatta Pemilu telah lama usai. Wajah tidak ramah yang muncul dalam penyelenggaraan Pemilu/Pilkada merupakan ekspresi dari filosofis dan nilai yang dianut oleh politisi dalam berdemokrasi. Filosofi menghalalkan segala cara dari Nocolo Machiavelli kerap terdengar dari ucapan dan tindakan politisi, misalnya ujaran “apapun caranya harus dilakukan untuk mencapai tujuan; tak ada yang pasti dalam politik; segala bisa berubah, perjanjian sekalipun; tak ada yang ahli dalam poitik, yang abadi adalah kepentingan; teman sekalipun kalau menghalangi kepentingan harus disingkirkan”. Ungkapan ini menunjukkan makna tentang filosofi (cara pandang), nilai, dan norma yang dianut sebagian politisi dan memengaruhi perlilakunya dalam berpolitik, termasuk dalam perilaku penyelenggaraan Pemilu. Filosofi ini membentuk wajah buruk demokrasi, sadar atau tidak sadar. Demokrasi menjadi kering dari keadaban, moralitas, dan akhlak mulia. Mengapa suara terbanyak dapat menyesatkan? Pemilihan Umum dilaksanakan sebagai konsekuensi dari paham demokrasi yang dianut bangsa Indonesia. Pemilu atau Pilkada merupakan salah satu instrumen penting demokrasi. Pemenang dalam Pemilu ditentukan oleh suara terbanyak. Prosedur ini sebagai implikasi dari salah satu asas universal demokrasi, yaitu asas kekuasaan mayoritas (majority rule). Walaupun tidak menolak sistem formatur/perwakilan, sistem yang dianggap paling konsisten dengan asas majority rule adalah sistem voting (pemungutan suara) dan pemilihan langsung, karena akan diperoleh persentase suara terbanyak (mayoritas) dari orang banyak (rakyat) berdasarkan prinsip one person, one vote, one value (satu orang, satu suara, satu nilai bilangan). Prinsip suara terbanyak yang dipakai untuk penentuan pemenang dalam Pemilu mengandung makna bahwa suara terbanyak menjadi ukuran kebenaran. Jadi, demokrasi itu benarnya adalah orang banyak. Maka, berhati-hatilah terhadap demokrasi meskipun demokrasi itu lebih baik daripada otoriter dan oligarki, kata Emha Ainun Najib, pada suatu kesempatan peluncuran buku Anas Urbaningrum (2004). Otokrasi adalah benarnya sendiri, oligarki benarnya sekelompok orang, demokrasi benarnya orang banyak. Tapi suara orang banyak tidak selalu benar. Sebagai contoh, ada sepuluh remaja. Tujuh diantaranya sepakat mengadakan pesta menegak miras oplosan. Keputusan miras oplosan adalah pilihan demokratis. Pilihan pesta ini benarnya orang banyak, namun ternyata menyesatkan. Logika analoginya, suara terbanyak yang diraih calon terpilih dalam Pemilu ada kemungkinan menyesatkan rakyat yang memilihnya.
Selengkapnya